Kamis, 01 Maret 2012

PRODUKTIVITAS KERJA GURU

                                                         PRODUKTIVITAS KERJA GURU 



       1)  Pengertian Produktivitas Kerja
            Produktivitas adalah hasil kerja dari seseorang atau kelompok organisasi, yang merupakan penampilan (performance) dari seseorang/organisasi tertentu secara keseluruhan. Nanang Fatah (1996:19) menyatakan bahwa : “Prestasi kerja atau penampilan kerja diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu.”
            Sedangkan, Anwar Prabu (2000:67) mengemukakan bahwa :
” Pengertian produktivitas  adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.”
            Dari kedua pendapat tadi terlihat bahwa, kinerja menentukan ciri dan kualitas seseorang atau organisasi, yang dapat menunjukkan keberhasilan atau ketidak berhasilan orang atau organisasi tersebut, dengan kata lain kinerja merupakan penampilan (performance) yang harus selalu  dijaga dan dipelihara, sehingga menjadikan orang atau organisasi dapat tampil secara memuaskan. Dengan demikian penampilan (performance) memiliki arti yang sangat penting dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Dalam melakukan pekerjaannya seorang pegawai dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satu diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Anwar Prabu (2000:67). Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation)
(1)  Faktor Kemampuan. Secara Psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan relity (knowledge + skill) artinya pegawai yang memiliki (IQ diatas rata-rata 110 sampai 120)   dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan.
(2)  Faktor Motivasi. Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja).
E. Mulyasa (2003:149) menyatakan :
Beberapa prinsip yang dapat diterapkan untuk memotivasi tenaga kependidikan agar mau dan mampu meningkatkan kinerjanya, diantaranya :
(1)          Tenaga kependidikan akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan.
(2)          Tujuan kegiatan harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada tenaga kependidikan sehingga mereka mengetahui tujuan mereka bekerja. Tenaga kependidikan juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut.
(3)          Para tenaga kependidikan harus selalu diberi tahu tentang hasil dari setiap pekerjaannya.
(4)          Pemberian hadiah lebih baik dari pada hukuman, sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan.
(5)          Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu dari tenaga kependidikan.
(6)      Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual tenaga kependidikan, misalnya perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap mereka terhadap pekerjaannya.
(7)          Usahakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman, menunjukkan bahwa pemimpin memperhatikan mereka, mengatur pengalaman sedemikian rupa sehinga setiap tenaga kependidikan pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan.

Guru merupakan tenaga professional yang mempunyai tugas khusus untuk mendidik dan mengajar kepada siswanya di sekolah. Oleh karenanya seorang guru dituntut untuk selalu berupaya meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya. Kaitan dengan ini Dedi Supriadi (2003:819) mengemukakan bahwa :
 Seorang guru yang profesional dituntut untuk meningkatkan wawasan serta pengetahuannya di bidang pendidikan dan ilmu-ilmu penunjang umumnya dan proses belajar mengajar. Hanya dengan cara ini guru dapat lebih baik  dan dapat lebih yakin bahwa setiap kegiatan belajar-mengajar yang dikekolanya itu dan sekaligus perwujudan interaksi pendidikan. Lebih jelas lagi seorang guru harus selalu sadar  untuk berupaya.
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang guru dalam meningkatan kinerjanya senantiasa mampu meningkatkan keprofesionalannya. Kemampuan professional berkaitan dengan kemampuan guru untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bergaul dengan semua pihak yang bersangkutan dengan pendidikan pada khususnya dan orang lain dari semua tatanan masyarakat pada umumnya. Kemampuan profesional merujuk pada keteladanan guru dalam melaksanakan layanan kependidikan. Hal ini diharapkan guru mampu melakukan apa yang harus dilakukannya dengan baik serta memahami batas-batas kemampuan dan tanggung jawabnya.
Pengembangan professional guru dimaksudkan untuk memenuhi tiga kebutuhan yang sungguhpun memiliki keragaman yang jelas, terdapat banyak kesamaan, antara lain :
(1)   Kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi,  serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan sosial.
(2) Kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan potensi sosial dan potensi akademik generasi muda dalam interaksinya dengan alam lingkungannya.
(3)   Kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru untuk menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti halnya dia membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasar.
Kebutuhan pertama, terkait langsung dengan kepedulian kemasyarakatan guru ditempat mereka berdomisili. Kebutuhan kedua, terkait dengan spirit dan moral guru di sekolah tempat mereka bekerja. Kebutuhan ketiga, dan mungkin yang paling penting adalah sebagai proses seleksi untuk menentukan mutu guru-guru yang akan disertakan dalam berbagai kegiatan pelatihan dan perjenjangan jabatan.
     2)    Guru Sebagai Pusat 
Pengembangan professional guru dapat didekati berdasarkan orientasi kemasyarakatan . Sekolah atau perseorangan. Apakah kita mendekati pengembangan profesional guru dari orientasi masyarakat, sekolah atau perorangan, bukanlah hal yang patut dipersoalkan di sini. Fokus aktivitas pengembangan profesioanl guru adalah kehidupan guru itu sendiri. Banyak diantara guru pemula yang merasa sedih karena mereka tidak dipersiapkan secara matang untuk melaksanakan tugas-tugas komplek dan diperlukan di di dalam kelas. Pendidikan prajabatan bagi guru-guru dinilai masih terlalu lemah sehingga guru-guru pemula masih banyak belajar di dalam pekerjaan, serta saling membantu satu sama lainnya dalam batas-batas yang bisa mereka perbuat.
Profesi guru tampaknya masih relatif berbeda dengan profesi-profesi yang berpijak dari ilmu-ilmu keras (hard sciences). Profesi yang bebasis ilmu-ilmu keras tertentu benar-benar mengondisikan penyandang profesi-profesi itu untuk melakukan praktik-praktiknya berdasarkan teori keilmuan, teori yang benar-benar menjadi masukan dalam praktek. Di samping itu, penyandang profesi  didukung oleh sains yang kompleks, tradisi otoritas profesi, institusi yang kuat dan berpengaruh, dan kesejahteraan pribadi. Demikian juga dalam bidang kedokteran.
3)   Program-program produktivitas kerja Guru
            Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menyukseskan program sebagai berikut:
(1)   Program   harus   menyeluruh   dan   harus  ada   kesesuaian  relatif   antara masukan-masukan dari masyarakat kaum professional.
(2)   Efek artisipasi yang sama bagi guru-guru untuk menghindari keterasingan dan untuk mengembangkan perasaan bermanfaat, guru harus lebih aktif.
(3)   Partisipasi guru harus ada dalam proses perencanaan, perlu diperbesar partisipasi dalam kelompok, dan memperkuat persepsi mereka mengenai manfaat program.
(4) Memungkinkan bagi guru dan masyarakat untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan lokal dan mengambil tindakan yang mereka senangi.
(5)   Program-program diarahkan bagi dan terfokus pada guru, anggota masyarakat dan propesional, dan hal itu tidak  dilepaskan dari masalah-masalah penting di sekitar mereka.
Ada beberapa reposisi untuk meningkatkan mutu pengembangan proporsional, yaitu berikut ini :
(1)   Tugas-tugas dan kegiatan pendidikan dalam jabatan yang berkelanjutan dapat mengembangkan kompetensi professional guru secara regular, meningkatkan mutu sekolah, mempercayai khasanah kehidupan individual guru.
(2)   Ada banyak bentuk pendidikan dalam jabatan yang dapat menampung tujuan-tujuan itu, persyaratan ini membutuhkan kondisi yang berbeda bagi penghantaran yang efektif.
(3)  Banyak hasil penelitian bidang pendidikan dalam jabatan yang bermutu. Sesungguhnya metode-metode pelatihan yang dianjurkan yang diyakini sangat   efektif   banyak   pula , tetapi   hingga   saat ini belum sepenuhnya diterapkan dalam sistem pendidikan dan jabatan.
(4)   Latihan meneliti akan mendorong guru untuk menemukan ide pengembangan profesional, model dan keterampilan mengajar. Hal ini lebih menentukan daripada  kondisi-kondisi kekuatan yang dikreasi.
(5)   Hambatan-hambatan yang diaplikasikan pengalaman menuntut adanya perluasan kegiatan pelatihan secara besar-besaran bagi guru.
(6)   Bagaimanapun juga guru menjadi peserta pelatihan yang lebih efektif daripada peserta lainnya sehingga banyak staf sekolah yang mempunyai kemampuan mengajar orang dewasa lainnya.
(7)   Barangkali banyak sumber pengembangan yang secara potensial efektif menjadi lemah atau salah digunakan saat ini.
(8)   Ekologi sekolah berbeda secara luas dan membangun kombinasi-kombinasi yang sangat berbeda dari pilhan-pilihan stafnya. Pada berbagai situasi yang ada, sesungguhnya produktif yang memungkinkan setiap orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas pengembangan dengan kata lain, penerapan konversi.
(9)   Ada beberapa besar di dalam keluasan, yang individu-individunya  mengambil keuntungan dengan cara berbeda dari peluang-peluang yang ada dalam lingkungan mereka. Orang-orang yang berpartisipasi secara aktif dalam satu jenis pengembangan staf cenderung mengerjakan pekerjaan lainnya secara baik, dan mempunyai sifat yang favorable menghadapi pilihan yang ditawarkan, dengan kata lain, kebanyakan orang yang aktif. “Menyeberang keluar” dan merasa tampil percaya diri, oleh karena itu, sistem harus di usahakan untuk menghantarkan pelayanan kepada mereka.
 (10) Kolaborasi pemerintah dengan sekolah, personil atau tokoh masyarakat, kepala, guru dan anggota masyarakat, personil, universitas dan asisten teknis, semuanya muncul menjadi rantai bagi usaha membangun lingkungan yang favorable  dan keterlibatannya sangat krusial.
Program komprehensif pengembangan proporsional guru  hendaknya mempunyai tiga dimensi yaitu sebagai acuan sistem untuk melaksanakan kegiatan pelatihan dalam jabatan (in service training ) yang cocok bagi guru, sebagai bekal di sekolah untuk meningkatkan kualitas program-programnya dan menciptakan  suasana atau kondisi yang memungkinkan guru sebisa mungkin mengembangkan potensinya secara optimal.  Pengembangan proporsional Guru secara Komprehenship, dalam jabatan, memungkinkan adanya model komprehensif bagi pengembangan proporsional guru benar-benar dirasakan sangat mendesak. Untuk itu ada tiga model parsial pengembangan proporsional, yaitu pelatihan dalam jabatan, menjajaki kemungkinan adanya  keterlibatan pemerintah untuk memberi pengakuan yang sama terhadap pekerjaan proporsional dari anggota-anggota komunitasnya dan mencoba memanfaatkan potensi, program-program pengembangan professional dan program-program perbaikan  sekolah sebagai proses yang berkelanjutan. Salah satu bentuk kegiatan pendidikan tambahan dalam jabatan adalah penataran. Permasalahannya hingga saat ini masih ada kesan kuat bahwa kegiatan penataran belum dikelola secara professional. Dalam kontek ini kemudian kegiatan penataran perlu dilakukan secara hati-hati, dan harus ada kejelasan dalam tujuan dan arah, pengetahuan dan keterampilan yang luas serta komitmen professional yang mendalam.
      Kemampuan professional guru antara lain dapat ditingkatkan melalui program pendidikan dalam jabatan, pengembangan professional dimaksudkan untuk memenuhi tiga kebutuhan yang sungguhpun terdapat keragaman yang kentara, yaitu kebutuhan sosial, kebutuhan untuk mengembangkan potensi akademik dan mendorong guru agar dapat menikmati kehidupan pribadinya.

PENDIDIKAN KARAKTER


PENDIDIKAN KARAKTER

Konsep Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

OLAH PIKIR
Cerdas

OLAH HATI
Jujur,Bertanggungjawab


OLAH RAGA ( KINESTETIK )
Bersih,Sehat,Menarik


OLAH RASA dan KARSA
Peduli dan Kreatif
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Urgensi Pendidikan Karakter
Karakter   adalah  cara  berpikir dan  berperilaku  yang  menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup  dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga  , masyarakat ,  bangsa  dan  negara . Individu yang berkarakter  baik  adalah  individu  yang  bisa  membuat  keputusan dan siap mempertanggung
jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
               Pembentukan  karakter  merupakan  salah  satu   tujuan    pendidikan  nasional. Pasal I UU Sisdiknas    tahun   2003   menyatakan   bahwa   diantara    tujuan    pendidikan    nasional     adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
               Amanah  UU  Sisdiknas  tahun  2003  itu  bermaksud  agar   pendidikan  tidak hanya membentuk   insan     Indonesia  yang  cerdas ,   namun   juga   berkepribadian    atau    berkarakter,
sehingga nantinya  akan lahir generasi  bangsa  yang  tumbuh  berkembang  dengan  karakter  yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
               Pendidikan   yang    bertujuan   melahirkan   insan   cerdas   dan  berkarakter kuat itu , juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character....... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan    karakter    adalah   pendidikan   budi    pekerti  plus  ,  yaitu  yang  melibatkan  aspek   pengetahuan  ( cognitive ) ,   perasaan ( feeling ), dan tindakan ( action ) .  Menurut  Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
               Dengan   pendidikan   karakter  yang   diterapkan    secara    sistematis dan berkelanjutan ,     seorang anak akan menjadi cerdas emosinya .  Kecerdasan  emosi  ini adalah bekal  penting  dalam mempersiapkan   anak  menyongsong  masa   depan  ,  karena  seseorang  akan  lebih  mudah  dan berhasil   menghadapi   segala  macam  tantangan kehidupan , termasuk  tantangan  untuk   berhasil secara akademis.
                Terdapat sembilan  ( 9 ) pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya.
Kedua, kemandirian dan tanggungjawab.
Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis.
Keempat, hormat dan santun.
Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama.
Keenam, percaya diri dan pekerja keras.
Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan.
Kedelapan, baik dan rendah hati.
Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
               Kesembilan   pilar   karakter   itu , diajarkan  secara   sistematis   dalam  model  pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah  diajarkan  sebab  pengetahuan bersifat kognitif  saja.  Setelah  knowing  the  good harus  ditumbuhkan  feeling  loving  the  good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi  engine  yang  bisa  membuat  orang senantiasa mau  berbuat  sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang  mau   melakukan   perilaku   kebajikan  karena  dia  cinta   dengan  perilaku   kebajikan   itu . Setelah  terbiasa  melakukan  kebajikan , maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
               Dasar  pendidikan karakter ini ,  sebaiknya  diterapkan  sejak  usia kanak-kanak atau  yang  biasa disebut para ahli psikologi  sebagai usia  emas ( golden age ) , karena usia  ini terbukti  sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya .  Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  sekitar 50%  variabilitas   kecerdasan  orang   dewasa   sudah   terjadi   ketika  nak berusia 4 tahun . Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya  pada  pertengahan  atau  akhir  dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan  karakter  dimulai   dari  dalam  keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
               Namun bagi  sebagian  keluarga ,  barangkali  proses  pendidikan  karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua  yang  terjebak  pada  rutinitas  yang padat. Karena itu ,  seyogyanya  pendidikan  karakter  juga  perlu   diberikan   saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak . Di sinilah  peran guru, yang dalam filosofi Jawa  disebut  digugu  lan ditiru , dipertaruhkan .  Karena  guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Dampak Pendidikan Karakter
                Apa  dampak  pendidikan  karakter  terhadap  keberhasilan akademik ?  Beberapa   peneli
tian  bermunculan  untuk  menjawab  pertanyaan ini .  Ringkasan  dari beberapa  penemuan  penting  mengenai  hal  ini   diterbitkan oleh   sebuah  buletin ,  Character  Educator ,  yang    diterbitkan  oleh Character Education Partnership.
                 Dalam  buletin  tersebut diuraikan  bahwa  hasil studi  Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri – St . Louis ,  menunjukan  peningkatan motivasi  siswa  sekolah  dalam  meraih  prestasi akademik pada  sekolah - sekolah  yag menerapkan pendidikan karakter .  Kelas-kelas yang  secara komprehensif   terlibat  dalam  pendidikan  karakter  menunjukkan  adanya  penurunan drastis  pada  perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
               Sebuah   buku   yang  berjudul  Emotional  Intelligence  and  School Success (Joseph Zins, et.al , 2001 )  mengkompilasikan  berbagai  hasil  penelitian  tentang  pengaruh  positif    kecerdasan  emosi   anak  terhadap  keberhasilan   di  sekolah . Dikatakan    bahwa   ada   sederet faktor – faktor  resiko     penyebab kegagalan  anak  di  sekolah .  Faktor – faktor  resiko  yang  disebutkan  ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak , tetapi  pada  karakter ,  yaitu  rasa  percaya diri , kemampuan  bekerja  sama ,  kemampuan  bergaul ,  kemampuan  berkonsentrasi , rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
               Hal itu sesuai dengan  pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang dimasya
rakat , ternyata 80 persen  dipengaruhi  oleh  kecerdasan emosi ,  dan  hanya  20  persen ditentukan  oleh kecerdasan otak ( IQ ).  Anak – anak yang mempunyai  masalah  dalam  kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul  dan  tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah  ini  sudah   dapat  dilihat   sejak   usia  pra  - sekolah , dan  kalau  tidak  ditangani  akan terbawa   sampai  usia   dewasa .  Sebaliknya   para    remaja  yag   berkarakter akan   terhindar dari masalah-masalah umum  yang dihadapi   oleh   remaja     seperti    kenakalan ,  tawuran ,   narkoba ,  miras ,  perilaku  seks  bebas ,  dan sebagainya.
               Beberapa   negara   yang  telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di anta ranya adalah ; Amerika Serikat , Jepang , Cina  dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan  bahwa  implementasi  pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
                Seiring  sosialisasi  tentang   relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah  bisa segera menerapkannya , agar  nantinya  lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.


Konsep Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Di Kelas
Secara  akademik ,  pendidikan  karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerrti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik – buruk , memelihara  apa  yang baik  itu , dan  mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
              Dalam  konteks  kehidupan  bermasyarakat ,  berbangsa  dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan  sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi   tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang akan datang
              Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi   dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko - kurikuler dan / atau   ekstra kurikuler , serta  kegiatan  keseharian di rumah , dan dalam masyarakat.
             Dalam kegiatan belajar-mengajar dikelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach).
Pembelajaran Pendidikan Budaya dan Karakter  Bangsa  menggunakan pendekatan  proses  belajar peserta  didik belajar aktif dan berpusat pada anak , dilakukan  melalui  berbagai  kegiatan  di kelas , sekolah, dan masyarakat .
              Di  Kelas  dilaksanakan  melalui  proses  belajar  setiap  mata  pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus.  Setiap  kegiatan  belajar  mengembangkan  kemampuan  dalam  ranah  kognitif , afektif ,  dan  psikomotor .  Oleh  karena  itu  tidak  selalu  diperlukan  kegiatan  belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan   budaya  dan  karakter  bangsa . Meski  pun  demikian , untuk  pengembangan nilai - nilai  tertentu  seperti  kerja  keras ,  jujur ,  toleransi ,  disiplin , mandiri , semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan  gemar  membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar  yang   biasa  dilakukan  guru . Untuk  pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli  lingkungan , rasa  ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut.
Contoh dalam tujuan pembelajaran dikelas, siswa dapat :
-Memperbesar dan memperkecil peta dengan bantuan garis-garis koordinat bersama - sama dengan teliti/cermat.
-Menjelaskan pemanfaatan peta dengan penuh percaya diri.


Jenis-jenis nilai karakter yang dapat ditanamkan kepada peserta didik di kelas antara lain :
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Diri Sendiri:
- Jujur
- Bertanggung jawab
- Hidup sehat
- Disiplin
- Kerja Keras
- Percaya Diri
- Berjiwa Wira usaha
- Berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif
- Mandiri
- Ingin tahu
- Cinta Ilmu
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Sesama:
- Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
- Patuh pada aturan-aturan sosial
- Menghargai karya dan prestasi orang lain
- Santun
- Demokratis
Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Kebangsaan:
- Nasionalis
- Menghargai Keberagaman
Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Lingkungan:
- Peduli Sosial dan Lingkungan
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Tuhan:
- Religius
-taqwa