Senin, 06 Agustus 2012

KECERDASAN SPIRITUAL ( SQ )

Menurut Danah Zohar, Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-niai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Dalam bahasa lain Amir Tengku Ramly (2004 : 28), mengatakan bahwa Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yalmi yang menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih hias dan kaya.
SQ mampu menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan orang lain. SQ memberikan anda kemampuan membedakan yang baik dan buruk, SQ juga memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasnya. Manusia menggunakan SQ untuk bertarung dengan nilai-nilai keyakinan atas kebaikan dan keburukan, serta untuk membayangkan sesuatu yang belum terjadi, untuk bermimpi, bercita-cita, dan menangkat diri dari kerendahan. SQ menjadikan kita makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Cara kerja SQ, beroperasi dari pusat otak, yaitu dari fungsi-fungsi penyatu otak. SQ tidak harus berhubungan dengan suatu agama. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Kita dapat menggunakan SQ untuk lebih cerdas secara spiritual dalam agama. SQ dapat menghubungkan anda dengan makna dan ruh esensial dibelakang semua agama yang ada. SQ memungkinkan kita menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain. Akhirnya k-ita dapat menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena kita sebagai manusia memiliki potensi untuk itu.
Sedang yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual menurut Danad Zohar dan Ian Marshall adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Tanda-tanda SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
 4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit 5. Kemampuan untuk senantiasa mensyukuri pemberian Tuhan
   6. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
   7. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
   8. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan dantara berbagai hal
(berpandangan "holistik)
   9. Kecenderungan nyata untuk bertanya "Mengapa?" atau "Bagaimana      jika?" untuk mencari jawaban jawaban yang mendasar
10. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai "bidang mandiri"
yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Seseorang yang tinggi SQ-nya juga cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian - yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya, manjadi inspiring untuk orang lain. (Danah Zohar dan Ian Marshall, 2001: 14)
Agus Nggermanto (2003 : 11S), lebih lanjut mengemukakan bahwa SQ adalah kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Menurut Sinetar, "kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theisness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian". Sementara menurut Khalil Khavari, Kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita - ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Akan tetapi, kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas. Dengan nada yang sama, Muhammad Zuhri, memberikan definisi SQ yang menarik. IQ adalah kecerdasan manusia yang, terutama, digunakan manusia untuk berhubungan dengan dan rnengelola alam. IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya, yang ditentukan oleh faktor genetika. Meski demikian potensi IQ sangat besar. Sedangkan EQ adalah kecerdasan manusia yang, terutama, digunakan manusia untuk berhubungan dan bekerja sama dengan manusia laimrya. EQ seseorang dipengaruhi oleh kondisi dalam dirinya dan masyarakatnya, seperti adat dan tradisi. Potensi EQ manusia lebih besar dibanding IQ. Sedang SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk "berhubungan" dengan Tuhan. Potensi SQ setiap orang sangat besar, dan tak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan, atau materi lainnya.
Lebih lanjut Agus Nggermanto (2003 14 1) menguraikan, SQ telah "menyalakan" kita untuk menjadi manusia seperti adanya sekarang dan memberi kita potensi untuk "menyala lagi" - untuk tumbuh dan berubah, serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiaa kita. Kita menggunakan SQ untuk menjadi kreatif. Kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara krearif.
Kita menggunakan SQ untuk berhadapan dengan masalah  eksistensial - yaitu saat kita secara pribadi merasa terpuruk, tegebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu kita akibat penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mampu mengatasinya - atau setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberikan kita semua rasa yang "dalam" menyangkut perjuangan hidup. SQ adalah pedoman saat kita berada "di ujung". Masalah-masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada di luar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kita hadapi. Dalam teori kekacauan (chaos), "ujung" adalah perbatasan antara keteraturan dan kekacauan, antara mengetahui diri kita atau sama sekali kehilangan jati diri. `ujung" adalah suatu tempat bagi kita dapat menjadi sangat kreatif. SQ, pemahaman kita yang dalam dan intuitif kita akan makna dan nilai, merupakan petunjuk bagi kita saat berada di "ujung". SQ adalah hati nurani kita.
Lebih lanjut Agus Nggermanto, menyampaikan, bahwa kita dapat menggunakan SQ untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial di belakang semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, ekslusii; fanatik, atau prasangka. Demikian pula, seseorang yang ber-SQ tinggi dapat memiliki kualitas spiritual tanpa beragama - secara literal - sama sekali. SQ memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersona.l dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dengan orang lain. Daniel Goleman telah menulis tentang emosi-emosi intrapersonal atau di dalam diri, dan emosi-emosi interpersonal - yang sama-sama dimiliki kita maupun orang lain atau yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, EQ semata-mata tidak dapat membantu kita untuk menjembatani kesenjangan itu. SQ adalah yang membuat kita mempunyai pemahaman tentang siapa diri kita dan apa makna segala sesuatu bagi kita, bagaimana semua itu memberikan suatu tempat di dalam diri kita kepada orang lain dan makna-makna mereka.
Kita menggunakan SQ untuk mencapai perl embangan diri yang lebih utuh karena kita memiliki potensi untuk itu. Kita masing-masing membentuk suatu karak~ter melalui gabungan antara pengalaman dan visi, ketegangan antara apa yang benar-benar kita lakukan dan hal-hal yang lebih besar dan lebih baik yang mungkin kita lakukan. Pada tingkatan ego murni kita adalah egois, ambisius terhadap materi, serta serba-aku, dan sebagainya. Akan tetapi, kita memiliki gambaran-gambaran transpersonal terhadap kebaikan, keindahan, kesempurnaan, kedermawanan, pengorbanan, dan lain-1ain. SQ membantu kita tumbuh melebihi ego terdekat diri kita dan mencapai lapisan yang lebih dalam yang tersembunyi di dalam diri kita. Ia membantu kita meniaiani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam. Kita dapat menggunakan SQ untuk berhadapan dengan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal-usul sejati dari penderitaan dan keputus-asaan manusia. Kita terlalu sering merasionalkan begitu saja masalah semacam ini, atau kita terhanyut secara emosional atau hancur karenanya. Agar kita memiliki kesecerdasan spiritual secara utuh, terkadang kita harus melihat wajah neraka, mengetahui kemungkinan untuk putus asa, menderita, sakit, kehilangan, dan tetap tabah menghadapinya. Naskah Cina Kuno Tao Te Ching mengatakan: "Jika anda menyatu dengan rasa kehilangan, kehilangan itu telah dirasakan dengan ikhlas". Kita harus tetap merindukan hidup dengan makna yang akan menyentuh kita dengan keintiman, sesuatu yang tegas, sesuatu yang murni, dan sesuatu yang menghidupkan. Dalam kehidupan semacam itu, kita bisa berharap menemukan apa yang kita rindukan, dan bisa berbagi buah dari penemuan kreatif tersebut dengan orang lain.
Ary Ginanjar (2041 : xxxix) memberikan ulasan yang berbeda, katanya Kecerdasan Spiritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secar ilmiah, pertama digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masin-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan, dua diantaranya adalah : Pertama, riset ahli psikologi/ syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutahir lagi tahun 1997 pleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi Goci-Spvt dalam otak manusia. Ini sudah built in sebagai pusat spiritual (spiritual centre) yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Sedangkan bukti kedua adalah riset ahli syaraf austria, Wolf Singer pada era 1990-an atas The Binding Problem, yang menunjukkan ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal "mengikat" pengalaman kita secara bersama untuk "hidup Lebih bermak-na". Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Lebih lanjur Ary Ginanjar mengatakan, akan tetapi SQ dari barat itu, atau Spiritual Intellegent tersebut belum atau bahkan tidak menjangkau ketuhanan. Pernbahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata, tidak bersifat transendental. Akibatnya kita masih merasakan adanya "kebuntuan". Kebenaran sejati, sebenamya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual cefrire ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, atau oleh apapun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata. Bahkan kata ahli sufi Islam Jalaludin Rumi. "mata hati punyai kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indra penglihatan". Namun apabila kita bertanya apa itu jenis-jenis suara hati yang berada di dalam God Spot, sebutkan satu persatu? Niscaya penulis barat belum bisa mengidentifikasi suara-suara hati tersebut. Temuan God Spot mereka baru sebatas hardware-nya saja (spiritual centre pada otak manusia), belum ada software-nya. ESQ Model adalah software (isi) dari God Spot atau spiritual centre secara transendental.
Ditegaskan oleh Ary Ginanjar mengutip H.S. Habib Adnan (1998 : 28), bahwa hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat. Artinya setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnya. Menurutnya, agama Islam adalah agama fitrah sesuai dengan kebutuhan, dan dibutuhkan manusia. Kebenaran Isiam senantiasa selaras dengan suara hati manusia. Dengan demikian, seluruh ajaran Islam merupakan tuntutan suara hati manusia. Oleh karena itu, memagang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang demikian cepat dan dinamis dewasa ini. Jadi, saya berani rnengambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi spiritual, dimana suara hati adalah menjadi landasannya.
Berdasrkan kenyataan di atas Ary Ginanjar menawarkan sebuah konsep baru tentang bagaimana membangun sebuah kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ). Dengan memberikan pemahaman, cara pemeliharaan, dan yang terpenting adalah motode pelatihan jangka panjang yang mandiri, tanpa unsur paksaan batiniah, dan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau yang lebih dikenal dengan suara hati yang terletak pada God Spnt. Konsep ESQ Model yang merupakan perangkat kerja dalam hal pengambangan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusiaa unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu mengekploitasi dan menginternalisasi kakayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya.
Landasan teori yang dimaksudkan di sini adalah mengenai materi dan konsep training ESQ. Sebagaimana dikatakan penggagasnya, Ary Ginanjar Agustian, "Konsep ESQ Model akan mampu melahirkan manusia unggul, namun ini bukanlah suatu program pelatihan kilat. Hal tersebut tidak bisa terjadi tanpa suatu proses yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat pada diri kita. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip".
            Uraian di bawah ini adalah paparan singkat yang merupakan tahapan dalam pelatihan ESQ tersebut, yang penulis kutipkan dari buk-u best retlcrrwu "Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam"
Bagian Satu (Zero Mind Process), berusaha mengungkapkan belenggu­-belenggu pikiran dan mencoba mengidentifikasi paradigma itu. Sehingga dapat dikenali apakah paradigma tersebut telah mengkerangkeng gikiran. Jika hal itu ada, diharapkan dapat dianrisipasi lebih dini sebelum menghujam ke dalam benak. Hasil akhir yang diharapkan pada Bagian Satu adalah Iahirnya alam pikiran jernih dan suci, atau dinamakannya God-Spot atau fitrah, yaitu kembali pada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu. Tahap ini merupakan titik tolak dari sebuah kecerdasan emosi. Di sinilah tanah yang subur, tempat untuk menanam benih berupa gagasan. Di samping itu, pada Bagian Satu, dicoba memperkenalkan secara umum suara hati yang bisa dijadikan sebagai landasan dari ESQ. Setelah itu dapat diikuti pengembangan berikutnya.
Bagian Dua (Mental Building - Enam Prinsip), dijelaskan tentang
kesadaran diri, yaitu arti penting alam pikic'an. Dijabarkan cara membangun alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasar Rukun Iman. Dimulai dari pembangunan Prinsip Bintang atau Stur Principle (1), angel Principle (2), dilanjutkan dengan Leadership Principle (3), lalu Learning Principlei (4), Vision Principle (5), dan yang terakhir adalah Well Urganizecl Principle (6). Pada bagian ini diharapkan tercipta format berpikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri, serta sesuai dengan hati nurani terdalam dari diri manusia. Di sinilah karakter manusia yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan spiritual terbentuk. Sesuai dengan fitrah manusia dan terbentuk pada tahap awal.
Bagiati Tiga, adalah suatu langkah pengesahan hati yang telah terbentuk. Ini dilaksanakan secara berurutan dan sangat sistematis berdasarkan Rukun Islam. Pada intinya, bagian ini merupakan langkah yang dimulai dari penetapan misi atau mission statement (1) dan dilanjutkan dengan pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif atau character building (2). Selanjutnya adalah, pelatihan pengendalian diri atau self controlling (3). Ketiga langkah ini akan menghasilkan apa yang disebut ketangguhan pribadi (Personal Strength). Proses internalisasi ke dalam.
Bagian Empat, diuraikan tentang pembentukan dan pelatihan untuk melakukan aliansi, atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya. Ini merupakan suatu perwujudan tanggung jawab sosial seseorang individu yang telah memiliki katangguhan pribadi di atas. Pelatihan yang diberikan, dinamakan Langkah Sinergi atau strategic collaboration (4) dan diakhiri Langkah Aplikasi Total atau total action (5). Pada tahap ini, diharapkan akan terbentuk apa yang dinamakan ketangguhan sosial (Social Strength). Di sinilah letak sublimasi semua prinsip dan langkah yang dilakukan. Inilah dinamakan proses internalisasi total (Ary Ginanjar, 200 1: Iv-lvi) Hadits Rasulullah SAW
Bukanlah sebaik-baik kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhiratnya,  dan tidak pada  orang-orang yang bekerja untuk akhiratnya saja  dan  meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja  untuk  (akhirat) dan untuk  (dunia).

KECERDASAN EMOSIONAL ( EQ )

Kecerdasan emosional (EQ), pertama kali dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada pertengahan tahun 1990-an. Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosional (EQ) lebih dari sepuluh tahun. Ia menunggu waktu sekian lama untuk mengumpulkan bukti ilmiah yang kuat. Sehingga saat Goleman mempublikasikan penelitiannya, Emotional Intelligence, mendapat sambutan positif baik dari akademisi maupun praktisi.
Goleman menjelaskan kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menggunakan ungkapan Howard Gardner, kecerdasan emosi terdiri dari dua kecakapan yaitu : intrapersonal intelligence dan enterpersonal intelligence (Agus Nggermanto, 2003 : 99).
Daniel Goleman dengan gemilang berhasil mengangkat citra kecerdasan emosi. EQ menjadi demikian dihargai dan diapresiasi penuh honmat sebagai terobosan kemajuan perkembangan manusia. EQ memberikan implikasi positif lebih jauh lagi dari sekedar teori ilmiah atau kesuksesan di tempat kerja. Karena berfokus pada intrapersonal dan interpersonal, orang-orang yang ber-EQ tinggi atau yang sedang belajar menerapkan EQ menemukan hidupnya lebih bermakna. Melebihi kesuksesan di tempat kerja, mereka dapat hidup bahagia, menikmati proses kehidupan, secara tulus saling berbagi dan mencintai berkat EQ yang diterapkan dalam kehidupan.
Amir Tengku Ramly (2004 : 26) memberikan rincian lebih lanjut bahwa bila anda berpikir dengan menggunakan kekuatan panca indera datam menyerap infonnasi dan otak kanan sebagai cara bertindak, maka sesungguhnya anda sedang berada dalam pola kecerdasan emosional (EQ). EQ memberi kesadaran mengenai perasaan sendiri dan juga perasaan orang lain. EQ memberi anda rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan atau kegembiraan secara cepat. Cara ini menurut Edwar de Bono disebut dengan berpikir lateral. Menurut Danah Zohar, inilah yang disebut berpikit asosiatif.
Yang menjadi perhatian dari pola EQ adalah kekayaan ragam pemikiran. Pemikiran EQ mendasari sebagian besar kecerdasan emosional mumi, kaitan antara satu emosi dan yang lain, antara emosi dan gejala tubuh, antara emosi dan lingkungan sekitarnya. Ia memungkinkan mengenali pola-pola, seperti wajah atau aroma dan belajar ketrampilan gerak seperti mengendarai sepeda atau mobil. Struktur di dalam otak yang digunakan untuk berpikir asosiatif dikenal sebagai jaringan saraf. Setiap jaringan ini mengandung serangkaian saraf hingga mencapai seratus ribu. Setiap sel saraf dalam satu gugus bisa dihubungkan dengan ribuah gugus saraf yang lain. Tidak seperti jalur saraf (neural tract) yang begitu pasti,
setiap neuron dalam jaringan saraf (neural network) bertindak terhadap atau menerima tindakan dari newon newon yang lain secara simultan.
Keunggulan berpikir lateral / asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia juga merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa dan ambiguitas. Kelemahan jenis berpikir ini adalah lambat dalam belajar, tidak akurat dan cenderung terikat kebiasaan dan pengalaman. Dan karena pemikiran asosiatif bersifat `diam', kita sulit berbagi pengalaman dengan orang lain. Kita tidak dapat menuliskan suatu rumusan, lalu menyuruh orang lain langsung menerapkannya.
Secara ringkas Daniel Goleman (1997 58) mendefinikan kecerdasan emosional adalah sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengandalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdo'a. Daniel Goleman membagi dalam lima kategori
1. Kesadaran diri terdiri dari; kesadaran emosi diri, penilaian pribadi dan percaya diri
2. Pengaturan diri terdiri dari; pegendalian diri, dapat dipercaya, waspada, adaptif dan inovatif
3. Memotivasi diri terdiri dari; dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis
  4. Empati terdiri dari; memahami orang lain, pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman, dan kesadaran politis
5. Ketrampitan sosial terdiri dari; pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta kerja tim.
Apa yang disodorkan oleh Daniel Goleman telah menginpirasi banyak orang dalam pengembangan kecerdasan emosional. Salah satunya apa yang dikembangkan oleh Agus-Steiner (Agus Nggermanto, 2003 : 100). Pengembangan EQ Gaya Agus-Steiner, adalah modifikasi langkah-langkah yang diusulkan Steiner oleh Agus Nggermanto agar lebih cocok dengan budaya k-ita dan mendapatkan hasil yang lebih mendalam. Tiga Iangkah utama mengembangkan EQ adalah membuka hati, menjelajahi emosi, dan bertanggung jawab.
Membuka hati: ini adalah langkah pertama karena hati adalah simbol pusat emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita bahagia, dalam kasih sayang, cinta, atau kegembiraan. Hati kita merasa tidak nyaman ketika salak sedih, marah, atau patah hati. Dengan demikian, kita mulai dengan membebaskan pusat perasaan kita dan impuls dan pengaruh yang mengatasi kita untuk menunjukkan cinta satu sama lain. Tahap-tahap untuk membuka hati adalah latihan memberikan stroke kepada teman, meminta stroke, menerima atau menolak stroke, dan memberikan stroke sendiri.
Menjelajahi dataran emosi : Sekali kita telah membuka hati, kita dapat melihat kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupan, Kita dapat berlatih cara mengetahui apa yang kita rasakan, seberapa kuat, dan apa alasannya. Kita menjadi paham hambatan dan aliran emosi kita. Kita mengetahui emosi yang dialami orang lain dan bagaimana perasaan mereka dipengaruhi oleh tindakan kita. Kita mulai memahami bagaimana emosi berinteraksi dan kadang-kadang menciptakan gelombang perasaan perasaan yang menghantam kita dan orang lain. Secara singkat, kita menjadi lebih bijak menanggapi perasaan kita dan perasaan orang-orang si sekitar kita. Tahapan penjelajah emosi adalah pernyataan tindakan/ perasaan, menerima pernyataan tindakan/ perasaan, menanggapi percikan intuisi, dan validasi percikan intuisi.
Mengambil tanggung jawab Untuk memperbaiki dan mengubah kerusakan hubungan, kita harus mengembil tanggung jawab. Kita dapat membuka hati kita dan memahami peta dataran emosional orang di sekitar kita, tapi itu saja tidak cukup. Ketia suatu masalah terjadi antara kita dengan orang lain, adalah sulit untuk melakukan perbaikan tanpa tindakan lebih jauh. Setiap orang harus mengerti permasalahan, mengakui kesalahan dan keteledor3n yang terjadi, membuat perbaikan, dan memutuskan bagaimana mengubah segala seuatunya. Dan perubahan memang harus dilakukan. Langkah-langkah untuk menjadi bertanggung jawab adalah : mengakui kesalahan kita, menerima atau menolak pengakuan, meminta maaf, dan menerima atau menolak, permintaan maaf.
          Dalam bukunya, Ary Ginanjar (2001 xxxviii) mengutip pemikiran tentang EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey tentang Fabel Aesop. Tentang " keseimbangan P/ PC" - definisi dasar dari efektifitas, dan hubungan kausalitas antara upaya dan hasil. Meminjam istilah Goleman, tentang keunggulan EQ dalam mencapai prestasi, sehingga banyak orang-orang hasil "penggodokan" pemikiran dan teori barat tersebut menjadi terkenal dan mencapai kesuksesan di atas rata-rata. Sepintas lalu kita akan dibuat takjub tentang sebuah keunggulan kekuatan IQ dan EQ manusia. Kita terhenyak oleh sebuah kecerdasan emosi yang temyata bisa sedemikian jauh mendahului sang kecerdasan otak (IQ) dalam berkompetisi. Namun ketakjuban itu tidak terlalu lama. Kita kembali tersentak oleh hasil akhir dari teori EQ dan IQ. Bukankah semuanya hanya berorientasi kebendaan dan hubungan antar manusia semata? Tiadakah teori lain, dengan cara pandang berbeda yang dapat melahirkan sebuah muara selain hanya materi dan hubungan antar manusia? Bukankah hanya mengejar kebendaan, berarti hanya mencakup satujuan saja, yaitu amaliyah yang manifes, antual dan fana (temporary).
Lebih lanjut Ary Ginanjar mengatakan bahwa, setelah mencoba menengok para pengikut teori EQ, kita mencoba "berjingkat-jingkat" memasuki ruang para aliran vertikal secara terpisah (SQ). Mencoba membuat sebuah `penilaian atas fakta' yang merujuk pada realitas eksternaal, dan karakteristik para pendukung kecerdasan spiritual itu (gnostik). Tujuan mereka (goal)-nya bersifat abadi, jangka panjang dan mutlak. Ini dimanifestasikan dalam dimensi pencapaian tujuan ideal yang `menyatu' dalam batin setiap penganutnya (SQ). Setelah upaya `penilaian atas fakta' dilakukan, kita mencoba melakukan `penilaian atau value'. Sebuah tahap penilaian yang menyangkut pula watak dan kualitas SQ. Serta manfaat, kebaikan, keburukan, dan jugaa bagaimana memperbarui serta menyempurnakannya (realitas internal). Dan berbicara mengenai istilah-istilah seperti ini berarti kita harus memberikan keputusan tentang nilai-nilai secara keseluruhan dan terintegrasi.

PERAN DAN FUNGSI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH


                  Memimpin suatu organisasi sekolah, seorang pemimpinan di samping dituntut  memiliki syarat-syarat dan sifat-sifat sebagaiman dijelakan di atas, maka pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki yang memiliki peranan dan fungsi sebagai seorang kepemimpinan,M. Ngalim Purwanto (2002:65), menjelaskan bagaiaman peranan seorang pemimpin yang baik dalam memimpin suatu organisai, yakni:
             a.   Sebagai pelaksana (execturive)
             b.  Sebagai perancana(plenner)
             c.   Sebagai seorang ahli (expert)
            d.    Mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (controller of internal representative).
            e.    Mengawasi hubungan antar anggota kelompok (controller of internal relationship).
            f.     Bertindak sebagai pemberi ganjaran/pujian dan hukuman (purveyor of reward an punishments).
            g.    Bertindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
            h.   Merupakan bagian dari kelompok (exemplar).
            i.     Merupakan lambang kelompok (symbol of the group)
            j.     Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responbility)
            k.    Sebagai pencipta / memiliki cita-cita (ideologis)
            l.     Bertindak sebagai seorang ayah (father figure)
            m.   Sebagai “kambing hitam” (scape goat)

                   Jika diteliti ketiga balas peranan kepemimpinan tersebut di atas, pelopor pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara (Sismono, 2001:16), telah mengemukakan bahwa pemimpin yang baik haruslah menjalankan peranan seperti berikut:
            a.   Ing ngrasa sun tulada,
            b.    Ing madya mangun karsa, dan
            c.    Tut wuri handayani.
                   Menyadari adanya peranan-peranan tersebut diatas, maka sangat berfaedah bagi para kepala sekolah dan pemimpin-pemimpin pendidikan lainnya untuk menjalankan tugas dengan berhati-hati dan menuju ke arah lebih baik lagi.

FUNGSI KEPEMIMPINAN

Menurut Hadari Nawawi (1992; 82-83) mengemukakan tentang fungsi kepemimpinan, yaitu : Mengembangkan dan menyalurkan kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat, baik secara perseorangan maupun kelompok sebagai usaha mengumpulkan data/bahan dari anggota kelompok dalam menetapkan keputusan (decision making) yang mampu memahami di dalam kelompoknya. Dengan demikian keputusan akan dipandang sebagai sesuatu yang patut atau tepat dilaksanakan oleh setiapanggota kelompok dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Mengembangkan suatu kerjasam yang efektif dengan memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap kemampuan orang-orang yang dipimpin sehingga timbul kepercayaan pada dirinya sendiri dan kesediaan menghargai orang lain sesuai dengan kemampuan masing-masing sehingga mampu memainkan peranan yang tepat dalam ikut serta  memberikan sumbangan terhadap usaha pencapaian tujuan, baik secara perseorangan maupun melalui proses kerja sama.
Mengusahakan dan mendorong terjadinya pertemuan mendapat/buat pikiran dengan sikap harga menghargai sehingga timbul perasaan ikut terlibat di dalam kegiatan kelompok/organisasi dan tumbuh perasaan bertanggungjawab atas terwujudnya pekerjaan masing-masing sebagai bagian dari usaha pencapaian tujuan.
Membantu menyelesaikan masalah-masalah, baik secara perseorangan maupun kelompok dengan memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatasinya sehingga berkembang ketersediaan untuk memecahkannya dengan kemampuan sendiri. Termasuk juga dalam hal ini adalah mendorong kemampuan anggota kelompok untuk mengatasi masalah peningkatan kesejahteraan dalam rangka menciptakan moral kerja yang tinggi.
Tim dosen MKDK Pengelolaan Pendidikan ’Akdon’ (1994: 102-103) mengemukakan tentang fungsi kepemimpinan pendidikan yaitu :
Fungsi utama pemimpin pendidikan adalah kelompok untuk belajar memutuskan dan bekerja, antara lain:
-       Pemimpin membantu terciptanya suasana persaudaraan, kerjasama, dengan penuh rasa kebebasan.
-       Pemimpin membantu kelompok untuk mengorganisasikan diri yaitu ikut serta dalam memberikan rangsangan dan bantuan kepada kelompok dalam menetapkan dan menjalankan tujuan.
-       Pemimpin membantu kelompok dalam menetapkan prosedur kerja, yaitu membantu kelompok dalam menganalisa situasi untuk kemudian menetapkan prosedur mana yang paling praktis dan efektif.
-       Pemimpin bertanggungjawab dalam mengambil keputusan bersama dengan kelompok. Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari pengalaman. Pemimpin mempunyai tanggung jawab untuk melatih kelompok menyadari proses dan isi pekerjaan dilakukan dan berani menilai hasilnya secara jujur dan objektif.
-       Pemimpin bertanggung jawab dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi organisasi
Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya fungsi kepemimpinan dalam organisasi yaitu mengkondisikan suatu upaya untuk menggerakan dan mengkordinasikan sumber daya organisasi untuk terlibat langsung dalam proses pelaksanaan sehingga mampu mewujudkan tujuan organisasi yang ditetapkan secara efektif dan efisien.
  1. Kualitas Kepemimpinan Pendidikan
Kualitas kepemimpinan akan sangat mempengaruhi terhadap kelancaran penyelenggaraan program-program kependidikan. Maka kualitas kepemimpinan harus menjadi suatu perhatian yang penting untuk dimiliki oleh para pemimpin pendidikan . Kualitas kepemimpinan pendidikan dapat dilihat dari dua sisi yaitu syarat dan keterampilan kepemimpinan pendidikan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMIMPINAN


Hadari (2003;70) menjelaskan bahwa unsur-unsur dalam kepemimpinan adalah
1. Adanya seseorang yang berfungsi memimpin, yang disebut pemimpin (leader).
2. Adanya orang lain yang dipimpin
3. Adanya kegiatan yang menggerakkan orang lain yang dilakukan dengan mempengaruhi dan pengarahkan perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya
4. Adanya tujuan yang hendak dicapai dan berlangsung dalam suatu proses di dalam organisasi, baik organisasi besar maupun kecil.
Sejalan dengan pendapat Hadari tersebut, Poernomosidhi Hadjisarosa (1980;33) selanjutnya merinci faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan yang tidak dapat dilepaskan dari sifat kepemimpinan itu sendiri. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Dapat menyelesaikan pekerjaar} melalui orang lain
a.    harus menguasai bidang kerjanya (tanpa kecuali)
b.    bersikap ulet
c.    diimbangi dengan keluwesan
2. Melalui orang lain
a. mampu berorganisasi
b. mampu berkomunikasi
c. bersikap manusiawi
3. Dalam kerangka tanggungjawab
a.  melakukan tanggungjawab secara proporsional
b.  dapat dipercaya
c.  berjiwa stabil
4. Disertai dengan kepribadian
a. dapat memelihara dan mengembangkan entusiasme
b. bersikap tanggap
c. dan tenang
5. Dan pengendalian ke dalam
a.
bersikap obyektif
b. mampu mengkoreksi diri
c. merasa dapat diganti
6. Dengan keseimbangan dalam pertimbangan
a. keseimbangan antara keuletan dan pengertian
b. keseimbangan antara pengetahuan dan tindakan
c. kesimbangan antara kemajuan dan etika
7.  Dan kelebihan dalam wawasan
a. dalam membawakan produktivitas kerja pegawai
b. dalam menjangkau gambaran masa depan
c. Ketangguhan dalam menghadapi tantangan berat
Menurut Teori Perilaku untuk menentukan faktor-faktor yang menentukan perilaku atau gaya kepemimpinan pada hakekatnya berhubungan dengan gaya pemimpin tersebut berhubungan dengan bawahan. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan tersebut dapat bersifat (1) berorientasi pada tugas (task oriented sryle) dan (2) berorientasi pada bawahan (employee oriented style).
Selanjutnya yang dimaksud perilaku kepemimpinan dalam penelitian ini adalah sifat pemimpin, dan dari perilaku (gaya) pemimpin yang bersangkutan dalam mempengaruhi orang lain yang menjadi bawahannya untuk mencapai target atau sasaran perusahaan yang menjadi tanggungjawabnya
Untuk lebih mengarahkan tentang pengertian kepemimipinan yang dimaksud dalam penelitian ini, maka kiranya diperlukan suatu pengertian kepemimpinan pendidikan. Hal ini diharapkan dapat mempermudah untuk memahami secara mendalam dan lebih khusus mengenai kepemimpinan di bidang pendidikan. Tim dosen MKDK Pengelolaan Pendidikan ”Akdon” (1994: 102) mengemukakan tentang pengertian kepemimpinan pendidikan, yaitu :
Kepemimpinan pendidikan adalah suatu kualitas kegiatan-kegiatan dan integrasi di dalam situasi pendidikan. Kepemimpinan pendidikan merupakan kemampuan untuk menggerakan pelaksanaan pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan pendidikan merupakan kemampuan dari seorang pemimpin pendidikan untuk mampu menggerakkan seluruh sumber daya pendidikan, baik sumberdaya manusia maupun non manusia untuk digerakkan, dibina, dan diarahkan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara optimal sampai mampu mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Faktor yang paling penting dalam kegiatan menggerakan orang lain untukk menunjukan kegiatan manajemen sekolah adalah kepemimpinan (leadership), sebab kepemimpinan yang menentukan arah dan tujuan, memberikan bimbingan dan menciptakan iklim kerja yang mendukung pelaksanaan proses manajemen kepala sekolah secara keseluruhan. Kesalahan dalam kepemimpinan dapat mengakibatkan gagalnya organisasi dalam menjalankan misinya. Selain itu, kepemimpinan kepala sekolah merupakan motor penggerak bagi sumber dan alat-alat (human resources), sehingga tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya bukan hanya ditentukan oleh tingkat keterampilan tehnik saja (technical skill), akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh keahliannya dalam menggerakkan orang lain yang sering disebut dengan manajerial skills.

KEPEMIMPINAN


Kepemimpinan pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang pimpinan dalam mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau menguasai orang lain sehingga mau melakukan sesuai yang disampaikannya. Kepemimpinan ini diperlukan oleh setiap pimpinan organisasi untuk mampu mengendalikan keseluruhan sumber daya yang ada sehingga mampu diarahkan menuju pencapaian tujuan yang ditetapkan. Kepemimpinan dipandang penting dalam organisasi guna menciptakan suatu pengkordinasian yang baik antar sumber daya organisasi yang ada. Uraian tersebut senada dengan pendapat Hadari Nawawi (1992: 79-80) mengemukakan pengertian kepemimpinan, yaitu :
Kepemimpinan adalah proses menggerakkan, membimbing, mempengaruhi, mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan dan tingkah laku orang lain.
Kepemimpinan adalah tindakan/perbuatan diantara perseorangan dan kelompok yang menyebabkan, baik orang seorang maupun kelompok bergerak ke arah tujuan tertentu. Kepemimpinan tampak dalam proses dimana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau mengawasi pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.
Pengertian tersebut telah memandang kepemimpinan sebagai proses mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau mengawasi seseorang. Lebih lanjut dipandang bahwa kepemimpinan sebenarnya sebagai upaya untuk mempengaruhi atau memaksakan suatu kehendak seseorang sehingga oleh orang lain atau kelompok mampu direspon dengan baik dan mau melakukannya. Makanya kepemimpinan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan sebagai pimpinan, di mana seorang pimpinan tersebut memaksa atau mempengaruhi anak buahnya untuk mampu mengerjakan  tugas dan tanggung jawabnya.
M. Ngalim Purwanto (1992: 33) mengemukakan pendapatnya tentang pengertian kepemimpinan, yaitu :
Kepemimpinan atau leadership adalah setiap sumbangan terhadap terwujudnya atau terciptanya tujuan-tujuan kelompok/golongan. Atau dengan kata lain ”Kepemimpinan” adalah tindakan /perbuatan diantara perseorangan dan kelompok yang menyebabkan baik orang seorang maupun kelompok, maju ke arah tujuan-tujuan tertentu.
Pada dasarnya pendapat di atas memandang bahwa kepemimpinan adalah sebagai tindakan atau perilaku seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok  agar mau melakukan dan mewujudkan  tujuan-tujuan yang diharapkan. Jadi dalam pengertian ini kepemimpinan tersebut hanyalah sebuah tindakan yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan orang lain terpengaruh, sehingga dalam hal ini tidak ada batasan bahwa orang yang mempengaruhi dan orang yang dipengaruhi berada dalam satu organisasi atau tidak.
Kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan suau unit kerja untuk mempengaruhiperilaku orang lain terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasi (S.P Siagian, 1985: 24). Dengan kewenangan yang dimilikinya, seorang pimpinan dapat melakukan pembinaan stafnya untuk menunjukan performance yang positif. Dalam hubungan dengan kegiatan organisasi, kepemimpinan merupakan proses yang digunakan oleh seseorang untuk mempengaruhi anggota kelompok ke arah pencapaian tujuan-tujuan kelompok atau organisasi (Greenberd & Baron, dalam Marwansyah & Mukaram, 2000: 167).
Hersev & Blanchard (1977: 4), merumuskan pengertian kepemimpinan sebagai berikut : ”A leadership is any time on attempts to impact the behavior of an individual or group regardless of the reason. It may be for one’s own goals or a friend’s goals, and they may or may not he congruent with organizational goals’.
Pengertian di atas, menggambarkan bahwa kepemimpinan adalah setiap upaya seseorang yang mencoba untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau perilaku kelompok. Upaya mempengaruhi perilaku itu bertujuan untuk mencapai tujuan perorangan, seperti tujuan diri sendiri atau teman. Tujuan perorangan tersebut, mungkin bersamaan atau mungkin berbeda dengan tujuan organisasi. Hal senada dikemukakan Welt Stogdill (1948) yang dikutip oleh Aminah (1999:24), bahwa :”Leadership is the process of influencing group activities toward goal setting and goal achievement”.
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan kelompok dalam upaya menyusun dan mencapai tujuan. Sedangkan Gorge R. Terry (1964) merumuskan bahwa: ”Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar suka berusaha mencapai tujuan kelompok”
Dalam dimensi lainnya, kepemimpinan dapat dipandang sebagai seni (art), kesanggupan (ability) atau teknik (technique) untuk membuat sekelompok orang (bawahan) dalam organisasi formal mentaati segala apa yang dikehendakinya atau membuat mereka antusias dan bersemangat untuk mengikutinya (Atmosudirdjo, 1979: 42). Dalam pendapat lainnya, Karjadi (1979: 23), merumuskan pengertian kepemimpinan sebagai berikut:
Kepemimpinan adalah memprodusir dan memancarkan pengaruh terhadap kelompok orang-orang tertentu sehingga mereka bersedia (willing) untuk berubah pikiran, pandangan, sikap kepercayaan dan sebagainya; di dalam organisasi formal, maka kepemimpinan itu membuat semua anggota bergiat dan berdaya upaya memahami dan mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan oleh pemimpin.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan tiga unsur utama yang ada dalam kepemimpinan, yakni (1) adanya unsur yang fungsinya mempengaruhi; (2) adanya unsur yang dipengaruhi untuk mencapai tujuan.
Secara rinci , stogdill (1948) dalam Aminah (1999: 26-28), mengemukakan sepuluh dimensi dalam kepemimpinan, yakni :
Kepemimpinan adalah seni untuk menciptakan kesesuaian paham dalam suatu kelompok. Upayanya dilakukan melalui pembinaan kerjasama dan pemberian dorongan sehingga orang lain dapat mengikuti serangkaian tidakan dalam mencapai tujuan.
Kepemimpinan merupakan upaya persuasi atau himbauan, bukan paksaan.
Kepemimpinan adalah kepribadian yang tercermin dalam sifat dan watak yang unggul sehingga keunggulan itu menimbulkan pengaruh terhadap pihak yang dipimpin.
Kepemimpinan adalah tindakan atau perilaku untuk mengarahkan kegiatan bersama dalam mencapai kepentingan dan tujuan bersama.
Kepemimpinan merupakan focus dari proses kegiatan kelompok sehingga kepemimpinan ini dapat melahirkan gagasan baru, perubahan baru, dan suasana yang kondusif untuk menumbuhkan aktifitas kelompok.
Kepemimpinan merupakan hubungan kekuasaan, dalam arti bahwa pihak yang memimpin lebih banyak mempengaruhi orang lain daripada dipengaruhi orang lain.
Kepemimpinan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, pemimpin merupakan kekuatan dinamik yang dapat mendorong, mengarahkan, dan mengkordinasikan sumber-sumber yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan terjadi sebagai interaksi antara seseorang dengan orang lain atau kelompok. Kepemimpinan terwujud dalam proses sosial dan merupakan akibat dari perilaku kelompok yang mengakui dan mendukung kepemimpinan tersebut.
Kepemimpinan adalah peran yang berbeda. Seorang pemimpin mempunyai peran yang berbeda dengan orang yang dipimpin. Perbedaan ini terjadi karena berbagai kelebihan atau keunggulan yang diakui oleh orang lain.
Kepemimpinan merupakan jabatan inisiasi yang berstruktur. Artinya, kepemimpinan bukan jabatan pasif melainkan sebagai jabatan aktif dan berinisisatif di dalam suatu struktur kegiatan mencapai tujuan.
Kepemimpinan yang efektif sangat mendukung kelangsungan hidup dan keberhasilan suatu organisasi, apapun bentuk kegiatan organisasi tersebut, banyak sekali definisi tentang kepemimpinan yang disampailan para ahli, akan tetapi tidak ada satu apapun yang sama, tergantung dari sudut mana para ahli tersebut melihatnya.
Berikut ini pengertian kepemimpinan yang disampikan oleh beberapa ahli dibidang kepemimpinan.
Pengertian kepemimpinan dikemukakan oleh banyak ahli, antara lain
adalah Goerge P Terry dalam FX Sudjadi (1991;44) bahwa:
"leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group objectives"
Sedangkan menurut Robert Tenenbaum, Irving R Wischler dan Fred Massarik sebagaimana dikutip oleh Siagian (1982;33)
"leadership is interpersonnal influence exercised in a situation and directed, through the communication process, toward the attainment of a specialized goal or goals" ( kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi kearah satu tujuan atau tujuan-tujuan yang telah ditetapkan)
Menurut Koontz, Harold daiCyrill O'Donnell (1980; 48) "leadership is influencing people to follow in the achievement of a common goal ". Kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum. Dari berbagai definisi tersebut, Blachard sebagaimana dikutip oleh Wahjosumidjo (1984:98) mengemukakan bahwa timbul kesepakatan diantara para ahli manajemen, bahwa pada akhimya kepemimpinan didefinisikan sebagai berikut:
"           that leadership is the process of influ`encing the activities of an individual or a group in effort toward goal achievment in a given situation"(kepemimpinan adalah proses dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan tertentu dalam situasi tertentu)
Dari pandangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan memiliki arti bahwa pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses kepemimpinan kearah satu tujuan atau tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Dari beberapa pengertian atau definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, pada hakikatnya kepemimpinan memiliki tugas yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemimpin memiliki peran  tanggung jawab (responsibility)
Mengandung arti bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuannya, mutlak menjadi tanggung jawab pimpinan. Termasuk tanggung jawab adalah
a. Keberhasilan menyelesaikan masalah-masalah khusus
     b. Melakukan evaluasi terhadap tugas-tugas yang dilaksanakan
     c. Bekerjasama dengan bawahan dan sekaligus bertanggungjawab terhadap segala aktivitas yang dilakukan bawahan, sepanjang menyangkut kepentingan perusahaan.
2. Pemimpin harus mampu menciptakan keseimbangan dalam rangka mencapai berbagai tujuan. Untuk itu diperlukan;
a. Pemimpin selalu memahami berbagai hasil, problematika dan kebutuhan organisasi
b. Mengingat keterbatasan sumber daya yang ada, maka pemimpin harus bertindak adil terhadap bawahan, tugas, problem dan kebutuhan yang ada.
c. Kemampuan menentukan skala prioritas yang hendak dicapai dalam tujuan Organisasi.
d. Kemampuan melihat tepat kemampuan bawahan untuk mengerjakan tugas-tugas, dan membagi habis tugas kepada bawahan dengan deskripsi yang jelas.
3.  Pemimpin adalah seorang pemikir yang konseptual
a. Tidak hanya dapat bekerja dengan bawahan, namun juga atasan, dan rekan  bekerja yang satu aras (level)
b. Pemimpin harus mampu berfungsi sebagai channel communication dalam organisasi (perusahaan)
 c. Mampu bekerja sama untuk mencapai tujuan jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
5. Pemimpin adalah seorang politisi.                               
Sebagai seorang politisi harus mampu bertindak persuasif dan kompromistis demi pengembangan tujuan organisasi atau perusahaan, dan perlu adanya penyebar jejaring kerja (networking) yang lebih luas dengan pemimpin lain
6. Pemimpin adalah penengah.
a. Dalam kehidupan organisasi (perusahaan) adakalanya terjadi selisih pendapat, baik internal maupun eksternal yang berakibat pada semangat dan produktivitas kerja pegawai, serta hilangnya kepercayaan para pegawai, atau organisasi lain serta masyarakat
b. Dalam hal demikian pemimpin harus mampu menjadi penengah dengan win-win solution
7. Pemimpin adalah pengambil keputusan
Sebagai pengambil keputusan (decision maker), pemimpin kerap dihadapkan pada berbagai macam pendapat tentang kebijaksanaan organisasi
8. Pemimpin adalah seorang diplomat
Dalam kapasitas dan perannya sebagai diplomat, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menjadi wakil resmi (Official Liaison) organisasi atau perusahaan pada berbagai keadaan, dan pendapat tentang organisasi yang dipimpinnya.

TEORI KEPEMIMPINAN

 
Pengertian kepemimpinan dapat didekati menurut teori sifat, yang bertolak dari pemikiran bahwa kedudukan kepemimpinan yang strategis, sehingga keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan ditentukan oleh pemimpin. Pendekatan kepemimpinan menurut sifat tersebut adalah bahwa keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki oleh pemimpin yang bersangkutan, baik sifat psikologis, maupun sifat fisik. Atas dasar pemikiran tersebut, maka untuk menjadi pemimpin yang berhasil, ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan pribadi tersebut adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.
Menurut Miller John D, sebagaimana dikutip oleh Wahjosumidjo (1984;33):
1. Kepemimpinan Menurut Teori Sifat
Teori ini bertolak dari pemikiran, bahwa keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan ditentukan oleh pemimpin, dan sifat pemimpin ditentutak oleh sifat-sifat, perangai atau cirri-ciri yang dimiliki oleh pemimpin yang bersangkutan, baik sifat psikologis, maupun sifat fisik Atas dasar pemikiran tersebut, maka untuk menjadi pemimpin yang berhasil, ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan pribadi tersebut adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.
Menurut Tjokroamidjojo, Bintoro (2004:75), sifat-sifat tersebut adalah:
a. Energi jasmani dan rohani (physical and nervous energy)
b. Kepastian akan maksud dan arah tujuan (a sense of purpose and
    direction)
c. Antusiasme atau perhatian yang besar (Enthusiasm)  
d. Keramah-tamahan, penuh rasa persahabatan dan ketulusan hati friendliness and effectiveness)
e. Integritas atau pribadi yang bulat (Integrity)
f. Kecakapan teknis (Technical mastery)
g. Mudah mengambil keputusan (Decisioness)
h. Cerdas (Intellegence)
i. Kecakapan mengajar (Teaching skill) dan
j. Kesetiaan (Faith)
Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat umum pemimpin. Kenyataan yang ada, pemimpin tidak harus memiliki sepuluh sifat tersebut, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi pengikut atau orang atau kelompok orang yang dipimpin.
Menurut Millet John D, sebagaimana dikutip oleh Wahjosumidjo (1984: 97), seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
a. Kemampuan melihat organisasi sebagai suatu keseluruhan (the ability to see an enterprise as a whole)
b. Kemampuan mengambil keputusan (the ability to make decisions)
c. Kemampuan melimpahkan atau mendelegasikan wewenang (the ability to delegate the authorities)
d. Kemampuan menanamkan kesetiaan (the ability to command loyalty) Sedangkan Keith Davis dalam bukunya yang berjudul Human behavior at work - Human relation and organizational behavior seorang pemimpin harus memiliki 4 kelebihan disbanding bawahan, yaitu
a. Intejensia (intelligence). Pada umumnya pemimpin harus memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibanding bawahan
b. Kematangan dan keluasan pandangan sosial (maturity and breadth). Dengan kematangan dan keluasan pandang sosial, diharapkan akan dapat mengendalikan keadaan, kerjasama sosial, dan keyakinan serta percaya diri.
c. Memiliki produktivitas kerja pegawai dan keinginan berprestasi yang datang dari dalam (inner motivation and achievement desires).
d. Mempunyai kemampuan untuk mengadakan hubungan kerj asama (human relation attitude). Seorang pemimpin harus lebih mengetahui disbanding bawahannya, karena dalam kehidupan organisasi diperlukan kerjasama atau saling ketergantungan (interdependency) antara anggota­anggota kelompok.
Dari pendapat-pendapat tersebut, apabila dikelompokkan, sifat pemimpin dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu:
Pertama,  sifat pribadi yang meliputi fisik, kecakapan (skill), teknologi, daya tanggap (perception), pengetahuan (knowledge), daya ingat (memory) dan imajinasi (imagination).
Kedua, adalah sifat subyektif yang merupakan keunggulan seorang pemimpin, mencakup keyakinan (determination), ketekunan (persistence), daya tahan (indurance), dan keberanian (incourage).
Sifat-sifat kepemimpinan di Indonesia yang sangat terkenal adalah sifat sebagaimana diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantoro, yaitu ing ngaraso sung tulodo, Ing madyo mangun karaso, Tut wuri handayani, yang mengandung arti sebagai berikut:
a. Seorang pemimpin, apabila di depan harus dapat memberi keteladanan yang baik kepada bawahan, karena pemimpin adalah panutan bagi bawahannya.
b. Apabila pemimpin berada di tengah-tengah, harus dapat meladeni dan menampung aspirasi lingkungannya, serta bersikap tanggap terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya.
c.  Apabila pemimpin tersebut berada di belakang, harus dapat mendorong produktivitas kerja pegawai, menjadi faktor pendorong bagi bawahan untuk kemajuan organisasi (perusahaan).
2. Kepemimpinan Menurut Teori Perilaku
Berangkat dari pemahaman bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mencapai tujuan, maka disamping sifat pemimpin, juga tidak terlepas dari perilaku (gaya) pemimpin yang bersangkutan.
Dari pemahaman tentang kepemimpinan menurut (Hadari 2003:55), dapat dirumuskan ada 2 fungsi pemimpin, yaitu (1) fungsi yang berkaitan dengan tugas (task oriented) atau sering disebut dengan fungsi pemecahan masalah (problem solving function), dan (2) fungsi pemeliharaan kelompok (Group maintenance) atau disebut sebagai fungsi sosial (social function). Sedangkan gaya kepemimpinan pada hakekatnya berhubungan dengan gaya pemimpin tersebut berhubungan dengan bawahan. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan tersebut dapat bersifat (1) berorientasi pada tugas (task oriented style) dan (2) berorientasi pada bawahan (employee oriented style).
Ciri masing-masing gaya kepemimpinan tersebut adalah
a. Berorientasi pada tugas:
1)  Pemimpin selalu memberi petunjuk kepada bawahan
2)  Selalu melakukan pengendalian dengan ketat atas kerja bawahan
3)  Berusaha meyakinkan bawahan, bahwa tugas-tugas harus dapat
     diselesaikan sebagaimana keinginan pemimpin
4) Lebih menekankan pelaksanaan tugas disbanding pembinaan dan
pengembangan pegawai
b. Berorientasi pada bawahan
1)  Lebih banyak memberi produktivitas kerja pegawai daripada
     melakukan pengawasan
2)  Melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan
3) Bersifat penuh kekeluargaan, percaya, hubungan kerjasama yang saling menghormati, di antara sesama rekan sekerja
3. Kepemimpinan Menurut Teori Kontingensi
Pada mulanya teori ini dikembangkan oleh Fedler, dan sering disebut Fedler's Contingenciy Model (Wahjosumidjo, 1999;33) Ada dua hal pokok yang menjadi sasaran, yaitu mengidentifikasi faktor-faktor yang sangat penting dalam satu situasi, dan memperkirakan gaya atau perilaku kepemimpinan yang paling efektif untuk situasi tersebut. Menurut Wahjosumidjo (1999;33) mengidentifikasi situasi kerja ada 3 elemen penting yang akan menentukan gaya kepemimpinan, yaitu :
1) Hubungan antara pemimpin dengan bawahan (leader – member relationship), yaitu dengan mengukur kualitas hubungan antara pemimpin dengan bawahan.
2)   Struktur tugas (task structure), yaitu menyusun tugas-tugas dalam struktur yang jelas.
3) Kewibawaan kedudukan pemimpin (Leader's position power), yaitu bagaimana kewibawaan formal dari seorang pemimpin tersebut dilaksanakan terhadap bawahan.
Model terakhir dari kepemimpinan menurut teori kontingensi dikembangkan oleh Paul Hersey dan Keneth Blanchard (Stoner, 1978;77) yang disebut The Life Cycle Theory, yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan (maturity) pemimpin.