PENDIDIKAN KARAKTER
Konsep Pendidikan Karakter
Pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations),
dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak
jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter
jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut
dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri,
rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran
untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak
sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika,
dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,
lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan
mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran,
emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of
school life to foster optimal character development”. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus
berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to
help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we
think about the kind of character we want for our children, it is clear that we
want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right,
and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu
yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru
membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana
perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi
dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia
yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik
bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral
universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut
sebagai the golden rule.
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari
nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam
dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan
cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri
dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung
jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan
punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak
kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut
atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah
itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala
tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus
pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian
yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010),
secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development)
, Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical
and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut.
OLAH PIKIR
Cerdas
|
OLAH HATI
Jujur,Bertanggungjawab
|
OLAH RAGA (
KINESTETIK )
Bersih,Sehat,Menarik
|
OLAH RASA dan
KARSA
Peduli dan
Kreatif
|
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang
berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai,
pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda
dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai
teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan
afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur
moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku,
kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Urgensi
Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga , masyarakat , bangsa dan negara . Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga , masyarakat , bangsa dan negara . Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung
jawabkan
tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas , namun juga berkepribadian atau berkarakter,
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas , namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter
yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa
serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu , juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character....... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu , juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character....... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus , yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan ( cognitive ) , perasaan ( feeling ), dan tindakan ( action ) .
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka
pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan , seorang anak akan menjadi cerdas emosinya . Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan , karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan , termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan ( 9 ) pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan , seorang anak akan menjadi cerdas emosinya . Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan , karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan , termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan ( 9 ) pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
Pertama,
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya.
Kedua,
kemandirian dan tanggungjawab.
Ketiga,
kejujuran/amanah, diplomatis.
Keempat,
hormat dan santun.
Kelima,
dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama.
Keenam,
percaya diri dan pekerja keras.
Ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan.
Kedelapan,
baik dan rendah hati.
Kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu , diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu . Setelah terbiasa melakukan kebajikan , maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini , sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas ( golden age ) , karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya . Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika nak berusia 4 tahun . Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga , barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu , seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak . Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru , dipertaruhkan . Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Kesembilan pilar karakter itu , diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu . Setelah terbiasa melakukan kebajikan , maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini , sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas ( golden age ) , karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya . Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika nak berusia 4 tahun . Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga , barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu , seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak . Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru , dipertaruhkan . Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dampak Pendidikan
Karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik ? Beberapa peneli
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik ? Beberapa peneli
tian
bermunculan untuk menjawab
pertanyaan ini . Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini
diterbitkan oleh sebuah buletin , Character Educator , yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri – St . Louis , menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah - sekolah yag menerapkan pendidikan karakter . Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al , 2001 ) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah . Dikatakan bahwa ada sederet faktor – faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah . Faktor – faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak , tetapi pada karakter , yaitu rasa percaya diri , kemampuan bekerja sama , kemampuan bergaul , kemampuan berkonsentrasi , rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang dimasya
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri – St . Louis , menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah - sekolah yag menerapkan pendidikan karakter . Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al , 2001 ) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah . Dikatakan bahwa ada sederet faktor – faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah . Faktor – faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak , tetapi pada karakter , yaitu rasa percaya diri , kemampuan bekerja sama , kemampuan bergaul , kemampuan berkonsentrasi , rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang dimasya
rakat
, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan
emosi , dan hanya 20
persen ditentukan oleh kecerdasan otak ( IQ ). Anak – anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan
emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak
yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra - sekolah
, dan kalau tidak ditangani
akan terbawa sampai usia dewasa
. Sebaliknya para remaja
yag
berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan
, tawuran , narkoba
, miras , perilaku seks bebas , dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di anta ranya adalah ; Amerika Serikat , Jepang , Cina dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya , agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di anta ranya adalah ; Amerika Serikat , Jepang , Cina dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya , agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Konsep Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Di Kelas
Secara akademik
, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerrti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik – buruk ,
memelihara apa yang baik itu , dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang akan datang
Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko - kurikuler dan / atau ekstra kurikuler , serta kegiatan keseharian di rumah , dan dalam masyarakat.
Dalam kegiatan belajar-mengajar dikelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach).
Pembelajaran Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik belajar aktif dan berpusat pada anak , dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas , sekolah, dan masyarakat .
Di Kelas dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif , afektif , dan psikomotor . Oleh karena itu tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa . Meski pun demikian , untuk pengembangan nilai - nilai tertentu seperti kerja keras , jujur , toleransi , disiplin , mandiri , semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru . Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan , rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut.
Contoh dalam tujuan pembelajaran dikelas, siswa dapat :
-Memperbesar dan memperkecil peta dengan bantuan garis-garis koordinat bersama - sama dengan teliti/cermat.
-Menjelaskan pemanfaatan peta dengan penuh percaya diri.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang akan datang
Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko - kurikuler dan / atau ekstra kurikuler , serta kegiatan keseharian di rumah , dan dalam masyarakat.
Dalam kegiatan belajar-mengajar dikelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach).
Pembelajaran Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik belajar aktif dan berpusat pada anak , dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas , sekolah, dan masyarakat .
Di Kelas dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif , afektif , dan psikomotor . Oleh karena itu tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa . Meski pun demikian , untuk pengembangan nilai - nilai tertentu seperti kerja keras , jujur , toleransi , disiplin , mandiri , semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru . Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan , rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut.
Contoh dalam tujuan pembelajaran dikelas, siswa dapat :
-Memperbesar dan memperkecil peta dengan bantuan garis-garis koordinat bersama - sama dengan teliti/cermat.
-Menjelaskan pemanfaatan peta dengan penuh percaya diri.
Jenis-jenis nilai karakter yang dapat ditanamkan kepada
peserta didik di kelas antara lain :
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Diri Sendiri:
- Jujur
- Bertanggung jawab
- Hidup sehat
- Disiplin
- Kerja Keras
- Percaya Diri
- Berjiwa Wira usaha
- Berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif
- Mandiri
- Ingin tahu
- Cinta Ilmu
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Sesama:
- Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
- Patuh pada aturan-aturan sosial
- Menghargai karya dan prestasi orang lain
- Santun
- Demokratis
Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Kebangsaan:
- Nasionalis
- Menghargai Keberagaman
Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Lingkungan:
- Peduli Sosial dan Lingkungan
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Tuhan:
- Religius
-taqwa
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Diri Sendiri:
- Jujur
- Bertanggung jawab
- Hidup sehat
- Disiplin
- Kerja Keras
- Percaya Diri
- Berjiwa Wira usaha
- Berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif
- Mandiri
- Ingin tahu
- Cinta Ilmu
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Sesama:
- Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
- Patuh pada aturan-aturan sosial
- Menghargai karya dan prestasi orang lain
- Santun
- Demokratis
Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Kebangsaan:
- Nasionalis
- Menghargai Keberagaman
Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Lingkungan:
- Peduli Sosial dan Lingkungan
Nilai Karakter dalam Hubunganya dengan Tuhan:
- Religius
-taqwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar