Kompetensi Guru dan Peran Kepala Sekolah
Dalam upaya
meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang
amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk
meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala sekolah,
sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim
kerja dan wirausahawan. Depdiknas terus menerus berupaya melakukan
berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya
yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya
Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan
kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan
memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto
dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on
what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa
perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what
teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan
kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi
guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa
salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu
menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi
yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna
meningkatkan kompetensi guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi
guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari
peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan
sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang
berkepentingan dengan pendidikan.
Hakikat Kompetensi Guru
Hakikat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise
Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light
of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu,
dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan
bahwa : ” A competence is a description of something which a person who
works in a given occupational area should be able to do. It is a description of
an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang
merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang
seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu
pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat
ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu
dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability)
dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan
keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam
hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang
seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik
berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto
dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
- Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
- Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
- Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan
nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
- Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
- Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
- Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
- Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for
Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru
di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru,
dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya
terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
- Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
- Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
- Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
- Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
- Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara
pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh
Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional.
Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi,
tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya
dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan
tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga
menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian
penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam
mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi
menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai
informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan
manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang
lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan
pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara
profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari
siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas
tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru
harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus
menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian
guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga
dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran
yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan
kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang
mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari
tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang berlangsung.
Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan
Kompetensi Guru
TUPOKSI Kepala Sekolah dengan konsep EMASLIM ( Edukator, Manager, Administrator, Supervisor, Leader,
Inovator, Motivator) :
A. Sebagai Edukator1. membimbing Guru
2. membimbing Karyawan
3. membimbing Siswa
4. membimbing Staf
B. Sebagai Manager
1. menyusun program
2. menyusun personal dalam organisasi sekolah
3. menggerakkan staf, guru, dan karyawan
4. mengoptimalkan sumber daya sekolah
C. Sebagai Administrator
1. mengelola administrasi KBM dan Bimbingan dan Konseling (BK)
2. mengelola administrasi kesiswaan
3. mengelola administrasi ketenagaan
4. mengelola administrasi keuangan
5. mengelola administrasi sarana prasarana
D. Sebagai Supervisor
1. menyusun program supervisi
2. melaksanakan program supervisi
3. menggunakan hasil supervisi
E. Sebagai Leader
1. memiliki kepribadian yang kuat
2. memahami kondisi anak buah yang baik
3. memiliki Visi dan memahami Misi sekolah
4. memiliki kemampuan mengambil keputusan
5. memiliki kemampuan berkomunikasi
F. Sebagai Inovator
1. kemampuan mencari dan menemukan gagasan baru untuk pembaharuan sekolah
2. kemampuan melakukan pembaharuan di sekolah
G. Sebagai Motivator
1. kemampuan mengatur lingkungan kerja (Fisik)
2. kemampuan mengatur suasana kerja (Non-fisik)
3. kemampuan menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000)
mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas
mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional
guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di
sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup
seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di
atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional
(Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai :
(1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor
(penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7)
wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana
disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas
hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses
pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di
sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap
pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja
akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus
juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat
secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar
mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas
yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan
dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya
dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk
dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan
dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat
sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan
melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang
diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa
untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya.
Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi
guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh
karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai
bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan
pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan
supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk
mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan
penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui
kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat
penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi,
pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan
yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan
pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim
(2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi
perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi
pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan
bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna
bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah.
Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada
guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang
dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap
peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal
dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan
kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya
kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari
hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala
sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru
lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan
kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin
dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung
jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi
yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan
setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang
disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya
menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja
lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2)
tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada
para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat
dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu
diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik
dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk
memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan
(modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai
Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan
dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya
dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan
berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan
berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk
perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa
beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan
peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat
membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Kesimpulan :
Kesimpulan :
- Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
- Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
- Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
- Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
- Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Proposisi Inti Kompetensi Guru
National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di
Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru,
dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya
terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
- Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
- Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
- Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
- Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
- Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
sumber : adaptasi : dari http://nbpts.org
Refleksi untuk Anda:
Menurut analisis kritis Anda, bagaimana
kondisi nyata kompetensi guru di Indonesia dikaitkan dengan kelima proposisi di
atas?
Bentuk Budaya Guru
Budaya sekolah memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah satunya adalah bentuk
budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola hubungan guru di sekolah.
Hargreaves (1992) telah mengidentifikasi lima bentuk budaya guru, yaitu : Individualism,
Balkanization, Contrived Collegiality, Collaboration, dan
Moving Mosaic.
- Individualism. Budaya dalam bentuk ini ditandai dengan adanya sebagian besar guru bekerja secara sendiri-sendiri (soliter), mereka menjadi tersisolasi dalam ruang kelasnya, dan hanya sedikit kolaborasi, sehingga kesempatan pengembangan profesi melalui diskusi atau sharing dengan yang lain menjadi sangat terbatas.
- Balkanization. Bentuk budaya yang kedua ini ditandai dengan adanya sub-sub kelompok secara terpisah yang cenderung saling bersaing dan lebih mementingkan kelompoknya daripada mementingkan sekolah secara keseluruhan. Misalnya, hadirnya kelompok guru senior dan guru junior atau kelompok-kelompok guru berdasarkan mata pelajaran. Pada budaya ini, komunikasi jarang terjadi dan kurang adanya kesinambungan dalam memantau perkembangan perilaku siswa, bahkan cenderung mengabaikannya.
- Contrived Collegiality. Bentuk budaya yang ketiga ini sudah terjadi kolaborasi yang ditentukan oleh manajemen, misalnya menentukan prosedur perencanaan bersama, konsultasi dan pengambilan keputusan, serta pandangan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Bentuk budaya ini sangat bermanfaat untuk masa-masa awal dalam membangun hubungan kolaboratif para guru. Kendati demikian, pada buaya ini belum bisa menjamin ketercapaian hasil, karena untuk membangun budaya kolaboratif memang tidak bisa melalui paksaan.
- Collaboration. Pada budaya inilah guru dapat memilih secara bebas dan saling mendukung dengan didasari saling percaya dan keterbukaan. Dalam budaya kolaboratif terdapat saling keterpaduan (intermixing) antara kehidupan pribadi dengan tugas-tugas profesional, saling menghargai, dan adanya toleransi atas perbedaan.
- Moving Mosaic. Pada model ini sekolah sudah menunjukkan karakteristik seperti apa yang disampaikan oleh Senge (1990) tentang “learning organisation”. Para guru sangat fleksibel dan adaptif, semua guru mengambil peran, bekerja secara kolaboratif dan reflektif, serta memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan.
Pemberdayaan Guru
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan
dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan
dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat
dalam waktu yang relatif singkat.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi
yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya
globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang
individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan
berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus
dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya
berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang
dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem
pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah
demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai
implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan
akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan
yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu
partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada
gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan,
bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi
kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya
manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya
dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi,
keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan
yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era
otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan
usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen
seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya
manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk
menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan
untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini
tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan,
jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN
saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa
tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political
will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya
pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama
keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif
singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya
manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba
pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya,
yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama
pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama
keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi
di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi
tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen
(23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan
oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa
rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi
guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem
pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran
seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh
berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri
untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai
tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari
pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi
target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa
stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi
pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang
telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.
Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut
kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara
baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik
adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis,
yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang
tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak
belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru
adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif
dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan
guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak
masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang
berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas
juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru
berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas
semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif.
Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas
dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya
wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil
ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi
kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula
terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli
lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan,
kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya.
Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan
dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan
mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh.
Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak
lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama
untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam
bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena
memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan
dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati
diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan
sama sekali tidak didapatkannya.
Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan
kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru
sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya guru diberikan otonomi
yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya,
sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti
berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas
guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif
untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan
tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para
siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada
guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu
sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan
sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi,
bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan
kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai
profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak.
Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak
terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu
sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih
apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang
masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena
bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan
keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik
dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya
sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada
gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor
pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki wawasan sanggup berkiprah secara global.
Peran Guru sebagai Motivator
dalam KTSP
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari
pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran
yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses
pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran
guru sebagai motivator.Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa
mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan
motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru
dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk
perilaku belajar siswa yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian
tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini
dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi
belajar siswa
1.
Memperjelas
tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, para siswa pun seyogyanya dapat dilibatkan untuk bersama-sama merumuskan tujuan belajar beserta cara-cara untuk mencapainya.
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, para siswa pun seyogyanya dapat dilibatkan untuk bersama-sama merumuskan tujuan belajar beserta cara-cara untuk mencapainya.
2. Membangkitkan minat siswa.
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh sebab itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa, diantaranya :
- Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu enjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
- Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelaaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik, yang dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal; dan kegagalan itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya minat siswa akan tumbuh kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
- Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi, misalnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi, dan lain-lain.
3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam
belajar.
Siswa
hanya mungkin dapat belajar dengan baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari rasa
takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam
suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru
sekali-sekali dapat melakukan hal-hal
yang lucu.
4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap
keberhasilan siswa.
Motivasi
akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Memberikanpujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk memberikan penghargaan.
Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata. Pujian sebagain penghargaan dapat dilakukan dengan
isyarat, misalnya senyuman dan anggukan yang wajar,
atau mungkin dengan tatapan mata yang meyakinkan.
5. Berikan penilaian.
Banyak
siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai
dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar.
Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya.
Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing.
6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan
siswa.
Siswa
butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan memberikan komentar positif. Setelah siswa selesai
mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “bagus” atau
“teruskan pekerjaanmu” dan lain
sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Persaingan
yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui
persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk memperoleh hasil yang terbaik. Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan
siswa untuk bersaing baik antara kelompok
maupun antar-individu. Namun demikian, diakui persaingan tidak selamanya menguntungkan, terutama
untuk siswa yang memang dirasakan tidak mampu
untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan
persaingan antarkelompok.
Di
samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat
dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman,
memberikan tugas yang sedikit berat
(menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli
mengatakan dengan membangkitkan motivasi
dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang
positif, sebaiknya membangkitkan motivasi
dengan cara negatif dihindari.
Sumber: Wina
Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Peran Guru
sebagai Fasilitator
Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula
lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi),
khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan
perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa,
belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan
pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat
melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa
sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa
dalam kegiatan proses pembelajaran.
Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi
terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat
“top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru
seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat
komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh
Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan
sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala
sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan
kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar
para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena
itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya guru
dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan
kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
- Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
- Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
- Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
- Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
- Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
Di samping itu, guru seyogyanya dapat memperhatikan
karakteristik-karakteristik siswa yang akan menentukan keberhasilan belajar
siswa, diantaranya:
- Setiap siswa memiliki pengalaman dan potensi belajar yang berbeda-beda.
- Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
- Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
- Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.
- Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
- Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
- Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment).
Selain dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar dan
memperhatikan karakteristik individual, juga guru dapat memperhatikan asas-asas
pembelajaran sebagai berikut:
- Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan diperlakukan sebagai mitra kerjanya
- Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
- Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif.
- Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
- Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
- Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
- Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.
Pada bagian lain, Wina Senjaya (2008) mengemukakan
bahwa agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator, maka guru
perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan
sumber belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa untuk mewujudkan dirinya sebagai
fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan sumber dan media belajar yang cocok
dan beragam dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya
sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya.
Terkait dengan sikap dan perilaku guru sebagai
fasilitator, di bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru
untuk dapat menjadi seorang fasilitator yang sukses:
- Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
- Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
- Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
- Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
- Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
- Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
- Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
- Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
- Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
- Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
- Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
Sumber:
Sindhunata.
2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius
Wina
Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Proyek
P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1).
Jakarta.
Klasifikasi Tenaga Guru dan
5 Tingkatan Praktik Pembelajaran
Telah disyaratkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen bahwa untuk dapat memangku jabatan guru, minimal
memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Namun dalam kenyataannya saat ini
kualifikasi pendidikan guru di Indonesia memang masih beragam. Dalam hal ini,
Conny Semiawan (Sudarwan Danim, 2002), memilah keberadaan tenaga guru di
Indonesia ke dalam tiga jenis secara hierarkis, yaitu :
- Guru sebagai tenaga profesional, yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 (atau yang setara), memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
- Guru sebagai tenaga semi profesional, yang berkualifikasi pendidikan D3 (atau yang setara) yang telah berwenang mengajar secara mandiri tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam hal perencanaan pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
- Guru sebagai tenaga paraprofesional, yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian/ pembelajaran.
Sementara itu, dalam praktik pembelajaran pun
tampaknya masih terjadi keragaman. Dengan mengadopsi pemikiran Prayitno (2005)
tentang lima tingkatan praktik dalam konseling, di bawah ini dijelaskan secara
singkat tentang lima tingkatan praktik pembelajaran, sebagai berikut:
1. Tingkat pembelajaran pragmatik.
Tingkat pembelajaran pragmatik yaitu pembelajaran yang
diselenggarakan guru dengan menggunakan cara-cara yang menurut pengalaman guru
pada waktu terdahulu dianggap memberikan hasil yang optimal, meskipun cara-cara
tersebut sama sekali tidak berdasarkan pada teori tertentu.
2.Tingkat pembelajaran dogmatik
Pada tingkat pembelajaran dogmatik, praktik
pembelajaran yang dilakukan guru telah menggunakan pendekatan berdasarkan teori
tertentu, namun pendekatan tersebut dijadikan dogma untuk segenap kepentingan
proses pembelajaran siswa.
3. Tingkat pembelajaran sinkretik
Pada tingkat pembelajaran sinkretik, pembelajaran yang
diselenggarakan guru telah menggunakan sejumlah pendekatan pembelajaran, namun
penggunaan pendekatan tersebut bercampur aduk tanpa sistematika ataupun
pertimbangan yang matang. Pendekatan-pendekatan tersebut sekedar dicomot dan
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran tanpa memperhatikan relevansi dan
ketepatannya.
4. Tingkat pembelajaran eklektik
Dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektik, guru
telah memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai pendekatan pembelajaran
dengan berbagai teknologinya, dan berusaha memilih serta menerapkan sebagian
atau satu kesatuan pendekatan beserta teknologinya sesuai dengan permasalahan
dan kebutuhan belajaran siswa. Pendeketan-pendekatan tersebut tidak dicampur
aduk, namun dipilah-pilah, masing-masing diplih secara cermat untuk kepentingan
pembelajaran siswa. Penyelenggaraan pembelajaran eklektif tidak mengangungkan
atau menjadikan suatu pendekatan pembelajaran tertentu sebagai dogma. Dengan
demikian, dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektif, guru mengetahui kapan
menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu.
5. Tingkat pembelajaran mempribadi
Tingkat pembelajaran yang mempribadi mempunyai
ciri-ciri : (1) penguasaan yang mendalam terhadap sejumlah pendekatan
pembelajaran beserta teknologinya, (2) kemampuan memilih dan menerapkan secara
tepat pendekatan berserta teknologinya untuk kepentingan pembelajaran siswa,
dan (3) pemberian warna pribadi yang khas sehingga tercipta praktik
pembelajaran yang benar-benar ilmiah, efektif, produktif, dan unik.
Refleksi untuk Anda: Tingkat pembelajaran manakah yang paling banyak
dilakukan guru di Indonesia saat ini? Jika dihubungkan dengan sertifikasi guru,
guru yang telah tersertifikasi berada pada tingkatan pembelajaran yang mana?
Ciri-Ciri
Guru Konstruktivis
Menurut Brooks & Brooks (Iim Waliman, dkk. 2001)
terdapat beberapa ciri yang menggambarkan seorang guru yang konstruktivis dalam
melaksanakan proses pembelajaran siswa, yaitu:
- Guru mendorong, menerima inisiatif dan kemandirian siswa.
- Guru menggunakan data mentah sebagai sumber utama pada fokus materi pembelajaran.
- Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan mengubah strategi belajar mengajar.
- Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum memulai pembelajaran.
- Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antar siswa.
- Guru mendorong siswa untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
- Guru melakukan elaborasi respon siswa siswa, baik yang sudah benar maupun yang belum benar.
- Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
- Guru memberikan waktu berfikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab pertanyaan
- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
- Guru di akhir pembelajaran memfasilitasi proses penyimpulan melalui acuan yang benar.
Sumber :Iim
Waliman, dkk. 2001. Pengajaran Demokratis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah).
Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar