Kecerdasan
emosional (EQ), pertama kali dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada pertengahan
tahun 1990-an. Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosional (EQ) lebih
dari sepuluh tahun. Ia menunggu waktu sekian lama untuk mengumpulkan bukti
ilmiah yang kuat. Sehingga saat Goleman mempublikasikan penelitiannya,
Emotional Intelligence, mendapat sambutan positif baik dari akademisi maupun
praktisi.
Goleman
menjelaskan kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menggunakan ungkapan
Howard Gardner, kecerdasan emosi terdiri dari dua kecakapan yaitu :
intrapersonal intelligence dan enterpersonal intelligence (Agus Nggermanto,
2003 : 99).
Daniel Goleman
dengan gemilang berhasil mengangkat citra kecerdasan emosi. EQ menjadi demikian
dihargai dan diapresiasi penuh honmat sebagai terobosan kemajuan perkembangan
manusia. EQ memberikan implikasi positif lebih jauh lagi dari sekedar teori
ilmiah atau kesuksesan di tempat kerja. Karena berfokus pada intrapersonal dan
interpersonal, orang-orang yang ber-EQ tinggi atau yang sedang belajar
menerapkan EQ menemukan hidupnya lebih bermakna. Melebihi
kesuksesan di tempat kerja, mereka dapat hidup bahagia, menikmati proses
kehidupan, secara tulus saling berbagi dan mencintai berkat EQ yang diterapkan
dalam kehidupan.
Amir Tengku
Ramly (2004 : 26) memberikan rincian lebih lanjut bahwa bila anda berpikir
dengan menggunakan kekuatan panca indera datam menyerap infonnasi dan otak
kanan sebagai cara bertindak, maka sesungguhnya anda sedang berada dalam pola
kecerdasan emosional (EQ). EQ memberi kesadaran mengenai perasaan sendiri dan
juga perasaan orang lain. EQ memberi anda rasa empati, cinta, motivasi dan
kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan atau kegembiraan secara cepat. Cara
ini menurut Edwar de Bono disebut dengan berpikir lateral. Menurut Danah Zohar,
inilah yang disebut berpikit asosiatif.
Yang
menjadi perhatian dari pola EQ adalah kekayaan ragam pemikiran. Pemikiran EQ
mendasari sebagian besar kecerdasan emosional mumi, kaitan antara satu emosi
dan yang lain, antara emosi dan gejala tubuh, antara emosi dan lingkungan
sekitarnya. Ia memungkinkan mengenali pola-pola, seperti wajah atau aroma dan
belajar ketrampilan gerak seperti mengendarai sepeda atau mobil. Struktur di
dalam otak yang digunakan untuk berpikir asosiatif dikenal sebagai jaringan
saraf. Setiap jaringan ini mengandung serangkaian saraf hingga mencapai seratus
ribu. Setiap sel saraf dalam satu gugus bisa dihubungkan dengan ribuah gugus
saraf yang lain. Tidak seperti jalur saraf (neural tract) yang begitu pasti,
setiap neuron dalam jaringan saraf (neural network) bertindak
terhadap atau menerima tindakan dari newon newon yang lain secara simultan.
Keunggulan berpikir lateral / asosiatif adalah bahwa ia
dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui
pengalaman. Ia
dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Ia juga merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa dan
ambiguitas. Kelemahan jenis berpikir ini adalah lambat dalam belajar, tidak
akurat dan cenderung terikat kebiasaan dan pengalaman. Dan karena pemikiran
asosiatif bersifat `diam', kita sulit berbagi pengalaman dengan orang lain.
Kita tidak dapat menuliskan suatu rumusan, lalu menyuruh orang lain langsung
menerapkannya.
Secara
ringkas Daniel Goleman (1997 58) mendefinikan kecerdasan emosional adalah
sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi; mengandalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan
berfikir; berempati dan berdo'a. Daniel Goleman membagi dalam lima kategori
1. Kesadaran diri terdiri
dari; kesadaran emosi diri, penilaian pribadi dan percaya diri
2. Pengaturan diri terdiri dari; pegendalian diri,
dapat dipercaya, waspada, adaptif dan inovatif
3. Memotivasi diri terdiri dari; dorongan berprestasi,
komitmen, inisiatif dan optimis
4. Empati terdiri dari; memahami
orang lain, pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman, dan kesadaran
politis
5. Ketrampitan sosial terdiri dari; pengaruh,
komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat
jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta kerja tim.
Apa yang disodorkan oleh Daniel Goleman telah menginpirasi banyak orang
dalam pengembangan kecerdasan emosional. Salah satunya apa yang dikembangkan
oleh Agus-Steiner (Agus Nggermanto, 2003 : 100). Pengembangan EQ Gaya
Agus-Steiner, adalah modifikasi langkah-langkah yang diusulkan Steiner oleh
Agus Nggermanto agar lebih cocok dengan budaya k-ita dan mendapatkan
hasil yang lebih mendalam. Tiga Iangkah utama mengembangkan EQ adalah membuka
hati, menjelajahi emosi, dan bertanggung jawab.
Membuka hati: ini adalah langkah pertama karena hati adalah simbol pusat
emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita bahagia, dalam kasih sayang,
cinta, atau kegembiraan. Hati kita merasa tidak nyaman ketika salak sedih,
marah, atau patah hati. Dengan demikian, kita mulai dengan membebaskan pusat
perasaan kita dan impuls dan pengaruh yang mengatasi kita untuk menunjukkan
cinta satu sama lain. Tahap-tahap untuk membuka hati adalah latihan memberikan stroke
kepada teman, meminta stroke, menerima atau menolak stroke, dan
memberikan stroke sendiri.
Menjelajahi dataran emosi : Sekali kita telah membuka
hati, kita dapat melihat kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupan,
Kita dapat berlatih cara mengetahui apa yang kita rasakan, seberapa kuat, dan
apa alasannya. Kita menjadi paham hambatan dan aliran emosi kita. Kita
mengetahui emosi yang dialami orang lain dan bagaimana perasaan mereka
dipengaruhi oleh tindakan kita. Kita mulai memahami bagaimana emosi
berinteraksi dan kadang-kadang menciptakan gelombang perasaan perasaan yang
menghantam kita dan orang lain. Secara singkat, kita menjadi lebih bijak
menanggapi perasaan kita dan perasaan orang-orang si sekitar kita. Tahapan
penjelajah emosi adalah pernyataan tindakan/ perasaan, menerima pernyataan
tindakan/ perasaan, menanggapi percikan intuisi, dan validasi percikan intuisi.
Mengambil tanggung
jawab Untuk memperbaiki dan mengubah kerusakan hubungan, kita harus mengembil
tanggung jawab. Kita dapat membuka hati kita dan memahami peta dataran
emosional orang di sekitar kita, tapi itu saja tidak cukup. Ketia suatu masalah
terjadi antara kita dengan orang lain, adalah sulit untuk melakukan perbaikan
tanpa tindakan lebih jauh. Setiap orang harus mengerti permasalahan, mengakui
kesalahan dan keteledor3n yang terjadi, membuat perbaikan, dan memutuskan
bagaimana mengubah segala seuatunya. Dan perubahan memang harus dilakukan.
Langkah-langkah untuk menjadi bertanggung jawab adalah : mengakui kesalahan
kita, menerima atau menolak pengakuan, meminta maaf, dan menerima atau menolak,
permintaan maaf.
Dalam bukunya, Ary Ginanjar (2001 xxxviii) mengutip pemikiran
tentang EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey tentang Fabel Aesop.
Tentang " keseimbangan P/ PC" - definisi dasar dari
efektifitas, dan hubungan kausalitas antara upaya dan hasil. Meminjam istilah
Goleman, tentang keunggulan EQ dalam mencapai prestasi, sehingga banyak
orang-orang hasil "penggodokan" pemikiran dan teori barat tersebut
menjadi terkenal dan mencapai kesuksesan di atas rata-rata. Sepintas lalu kita
akan dibuat takjub tentang sebuah keunggulan kekuatan IQ dan EQ manusia. Kita
terhenyak oleh sebuah kecerdasan emosi yang temyata bisa sedemikian jauh
mendahului sang kecerdasan otak (IQ) dalam berkompetisi. Namun ketakjuban itu
tidak terlalu lama. Kita kembali tersentak oleh hasil akhir dari teori EQ dan
IQ. Bukankah semuanya hanya berorientasi kebendaan dan hubungan antar manusia
semata? Tiadakah teori lain, dengan cara pandang berbeda yang dapat melahirkan
sebuah muara selain hanya materi dan hubungan antar manusia? Bukankah hanya
mengejar kebendaan, berarti hanya mencakup satujuan saja, yaitu amaliyah yang
manifes, antual dan fana (temporary).
Lebih
lanjut Ary Ginanjar mengatakan bahwa, setelah mencoba menengok para pengikut
teori EQ, kita mencoba "berjingkat-jingkat" memasuki ruang para
aliran vertikal secara terpisah (SQ). Mencoba membuat sebuah `penilaian atas
fakta' yang merujuk pada realitas eksternaal, dan karakteristik para pendukung
kecerdasan spiritual itu (gnostik). Tujuan mereka (goal)-nya bersifat
abadi, jangka panjang dan mutlak. Ini dimanifestasikan dalam dimensi pencapaian
tujuan ideal yang `menyatu' dalam batin setiap penganutnya (SQ). Setelah
upaya `penilaian atas fakta' dilakukan, kita mencoba melakukan `penilaian atau value'.
Sebuah tahap penilaian yang menyangkut pula watak dan kualitas SQ. Serta
manfaat, kebaikan, keburukan, dan jugaa bagaimana memperbarui serta
menyempurnakannya (realitas internal). Dan berbicara mengenai istilah-istilah
seperti ini berarti kita harus memberikan keputusan tentang nilai-nilai secara
keseluruhan dan terintegrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar