Senin, 06 Agustus 2012

KECERDASAN SPIRITUAL ( SQ )

Menurut Danah Zohar, Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-niai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Dalam bahasa lain Amir Tengku Ramly (2004 : 28), mengatakan bahwa Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yalmi yang menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih hias dan kaya.
SQ mampu menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan orang lain. SQ memberikan anda kemampuan membedakan yang baik dan buruk, SQ juga memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasnya. Manusia menggunakan SQ untuk bertarung dengan nilai-nilai keyakinan atas kebaikan dan keburukan, serta untuk membayangkan sesuatu yang belum terjadi, untuk bermimpi, bercita-cita, dan menangkat diri dari kerendahan. SQ menjadikan kita makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Cara kerja SQ, beroperasi dari pusat otak, yaitu dari fungsi-fungsi penyatu otak. SQ tidak harus berhubungan dengan suatu agama. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Kita dapat menggunakan SQ untuk lebih cerdas secara spiritual dalam agama. SQ dapat menghubungkan anda dengan makna dan ruh esensial dibelakang semua agama yang ada. SQ memungkinkan kita menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain. Akhirnya k-ita dapat menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena kita sebagai manusia memiliki potensi untuk itu.
Sedang yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual menurut Danad Zohar dan Ian Marshall adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Tanda-tanda SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
 4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit 5. Kemampuan untuk senantiasa mensyukuri pemberian Tuhan
   6. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
   7. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
   8. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan dantara berbagai hal
(berpandangan "holistik)
   9. Kecenderungan nyata untuk bertanya "Mengapa?" atau "Bagaimana      jika?" untuk mencari jawaban jawaban yang mendasar
10. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai "bidang mandiri"
yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Seseorang yang tinggi SQ-nya juga cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian - yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya, manjadi inspiring untuk orang lain. (Danah Zohar dan Ian Marshall, 2001: 14)
Agus Nggermanto (2003 : 11S), lebih lanjut mengemukakan bahwa SQ adalah kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Menurut Sinetar, "kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theisness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian". Sementara menurut Khalil Khavari, Kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita - ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Akan tetapi, kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas. Dengan nada yang sama, Muhammad Zuhri, memberikan definisi SQ yang menarik. IQ adalah kecerdasan manusia yang, terutama, digunakan manusia untuk berhubungan dengan dan rnengelola alam. IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya, yang ditentukan oleh faktor genetika. Meski demikian potensi IQ sangat besar. Sedangkan EQ adalah kecerdasan manusia yang, terutama, digunakan manusia untuk berhubungan dan bekerja sama dengan manusia laimrya. EQ seseorang dipengaruhi oleh kondisi dalam dirinya dan masyarakatnya, seperti adat dan tradisi. Potensi EQ manusia lebih besar dibanding IQ. Sedang SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk "berhubungan" dengan Tuhan. Potensi SQ setiap orang sangat besar, dan tak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan, atau materi lainnya.
Lebih lanjut Agus Nggermanto (2003 14 1) menguraikan, SQ telah "menyalakan" kita untuk menjadi manusia seperti adanya sekarang dan memberi kita potensi untuk "menyala lagi" - untuk tumbuh dan berubah, serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiaa kita. Kita menggunakan SQ untuk menjadi kreatif. Kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara krearif.
Kita menggunakan SQ untuk berhadapan dengan masalah  eksistensial - yaitu saat kita secara pribadi merasa terpuruk, tegebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu kita akibat penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mampu mengatasinya - atau setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberikan kita semua rasa yang "dalam" menyangkut perjuangan hidup. SQ adalah pedoman saat kita berada "di ujung". Masalah-masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada di luar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kita hadapi. Dalam teori kekacauan (chaos), "ujung" adalah perbatasan antara keteraturan dan kekacauan, antara mengetahui diri kita atau sama sekali kehilangan jati diri. `ujung" adalah suatu tempat bagi kita dapat menjadi sangat kreatif. SQ, pemahaman kita yang dalam dan intuitif kita akan makna dan nilai, merupakan petunjuk bagi kita saat berada di "ujung". SQ adalah hati nurani kita.
Lebih lanjut Agus Nggermanto, menyampaikan, bahwa kita dapat menggunakan SQ untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial di belakang semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, ekslusii; fanatik, atau prasangka. Demikian pula, seseorang yang ber-SQ tinggi dapat memiliki kualitas spiritual tanpa beragama - secara literal - sama sekali. SQ memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersona.l dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dengan orang lain. Daniel Goleman telah menulis tentang emosi-emosi intrapersonal atau di dalam diri, dan emosi-emosi interpersonal - yang sama-sama dimiliki kita maupun orang lain atau yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, EQ semata-mata tidak dapat membantu kita untuk menjembatani kesenjangan itu. SQ adalah yang membuat kita mempunyai pemahaman tentang siapa diri kita dan apa makna segala sesuatu bagi kita, bagaimana semua itu memberikan suatu tempat di dalam diri kita kepada orang lain dan makna-makna mereka.
Kita menggunakan SQ untuk mencapai perl embangan diri yang lebih utuh karena kita memiliki potensi untuk itu. Kita masing-masing membentuk suatu karak~ter melalui gabungan antara pengalaman dan visi, ketegangan antara apa yang benar-benar kita lakukan dan hal-hal yang lebih besar dan lebih baik yang mungkin kita lakukan. Pada tingkatan ego murni kita adalah egois, ambisius terhadap materi, serta serba-aku, dan sebagainya. Akan tetapi, kita memiliki gambaran-gambaran transpersonal terhadap kebaikan, keindahan, kesempurnaan, kedermawanan, pengorbanan, dan lain-1ain. SQ membantu kita tumbuh melebihi ego terdekat diri kita dan mencapai lapisan yang lebih dalam yang tersembunyi di dalam diri kita. Ia membantu kita meniaiani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam. Kita dapat menggunakan SQ untuk berhadapan dengan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal-usul sejati dari penderitaan dan keputus-asaan manusia. Kita terlalu sering merasionalkan begitu saja masalah semacam ini, atau kita terhanyut secara emosional atau hancur karenanya. Agar kita memiliki kesecerdasan spiritual secara utuh, terkadang kita harus melihat wajah neraka, mengetahui kemungkinan untuk putus asa, menderita, sakit, kehilangan, dan tetap tabah menghadapinya. Naskah Cina Kuno Tao Te Ching mengatakan: "Jika anda menyatu dengan rasa kehilangan, kehilangan itu telah dirasakan dengan ikhlas". Kita harus tetap merindukan hidup dengan makna yang akan menyentuh kita dengan keintiman, sesuatu yang tegas, sesuatu yang murni, dan sesuatu yang menghidupkan. Dalam kehidupan semacam itu, kita bisa berharap menemukan apa yang kita rindukan, dan bisa berbagi buah dari penemuan kreatif tersebut dengan orang lain.
Ary Ginanjar (2041 : xxxix) memberikan ulasan yang berbeda, katanya Kecerdasan Spiritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secar ilmiah, pertama digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masin-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan, dua diantaranya adalah : Pertama, riset ahli psikologi/ syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutahir lagi tahun 1997 pleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi Goci-Spvt dalam otak manusia. Ini sudah built in sebagai pusat spiritual (spiritual centre) yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Sedangkan bukti kedua adalah riset ahli syaraf austria, Wolf Singer pada era 1990-an atas The Binding Problem, yang menunjukkan ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal "mengikat" pengalaman kita secara bersama untuk "hidup Lebih bermak-na". Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Lebih lanjur Ary Ginanjar mengatakan, akan tetapi SQ dari barat itu, atau Spiritual Intellegent tersebut belum atau bahkan tidak menjangkau ketuhanan. Pernbahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata, tidak bersifat transendental. Akibatnya kita masih merasakan adanya "kebuntuan". Kebenaran sejati, sebenamya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual cefrire ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, atau oleh apapun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata. Bahkan kata ahli sufi Islam Jalaludin Rumi. "mata hati punyai kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indra penglihatan". Namun apabila kita bertanya apa itu jenis-jenis suara hati yang berada di dalam God Spot, sebutkan satu persatu? Niscaya penulis barat belum bisa mengidentifikasi suara-suara hati tersebut. Temuan God Spot mereka baru sebatas hardware-nya saja (spiritual centre pada otak manusia), belum ada software-nya. ESQ Model adalah software (isi) dari God Spot atau spiritual centre secara transendental.
Ditegaskan oleh Ary Ginanjar mengutip H.S. Habib Adnan (1998 : 28), bahwa hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat. Artinya setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnya. Menurutnya, agama Islam adalah agama fitrah sesuai dengan kebutuhan, dan dibutuhkan manusia. Kebenaran Isiam senantiasa selaras dengan suara hati manusia. Dengan demikian, seluruh ajaran Islam merupakan tuntutan suara hati manusia. Oleh karena itu, memagang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang demikian cepat dan dinamis dewasa ini. Jadi, saya berani rnengambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi spiritual, dimana suara hati adalah menjadi landasannya.
Berdasrkan kenyataan di atas Ary Ginanjar menawarkan sebuah konsep baru tentang bagaimana membangun sebuah kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ). Dengan memberikan pemahaman, cara pemeliharaan, dan yang terpenting adalah motode pelatihan jangka panjang yang mandiri, tanpa unsur paksaan batiniah, dan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau yang lebih dikenal dengan suara hati yang terletak pada God Spnt. Konsep ESQ Model yang merupakan perangkat kerja dalam hal pengambangan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusiaa unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu mengekploitasi dan menginternalisasi kakayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya.
Landasan teori yang dimaksudkan di sini adalah mengenai materi dan konsep training ESQ. Sebagaimana dikatakan penggagasnya, Ary Ginanjar Agustian, "Konsep ESQ Model akan mampu melahirkan manusia unggul, namun ini bukanlah suatu program pelatihan kilat. Hal tersebut tidak bisa terjadi tanpa suatu proses yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat pada diri kita. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip".
            Uraian di bawah ini adalah paparan singkat yang merupakan tahapan dalam pelatihan ESQ tersebut, yang penulis kutipkan dari buk-u best retlcrrwu "Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam"
Bagian Satu (Zero Mind Process), berusaha mengungkapkan belenggu­-belenggu pikiran dan mencoba mengidentifikasi paradigma itu. Sehingga dapat dikenali apakah paradigma tersebut telah mengkerangkeng gikiran. Jika hal itu ada, diharapkan dapat dianrisipasi lebih dini sebelum menghujam ke dalam benak. Hasil akhir yang diharapkan pada Bagian Satu adalah Iahirnya alam pikiran jernih dan suci, atau dinamakannya God-Spot atau fitrah, yaitu kembali pada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu. Tahap ini merupakan titik tolak dari sebuah kecerdasan emosi. Di sinilah tanah yang subur, tempat untuk menanam benih berupa gagasan. Di samping itu, pada Bagian Satu, dicoba memperkenalkan secara umum suara hati yang bisa dijadikan sebagai landasan dari ESQ. Setelah itu dapat diikuti pengembangan berikutnya.
Bagian Dua (Mental Building - Enam Prinsip), dijelaskan tentang
kesadaran diri, yaitu arti penting alam pikic'an. Dijabarkan cara membangun alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasar Rukun Iman. Dimulai dari pembangunan Prinsip Bintang atau Stur Principle (1), angel Principle (2), dilanjutkan dengan Leadership Principle (3), lalu Learning Principlei (4), Vision Principle (5), dan yang terakhir adalah Well Urganizecl Principle (6). Pada bagian ini diharapkan tercipta format berpikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri, serta sesuai dengan hati nurani terdalam dari diri manusia. Di sinilah karakter manusia yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan spiritual terbentuk. Sesuai dengan fitrah manusia dan terbentuk pada tahap awal.
Bagiati Tiga, adalah suatu langkah pengesahan hati yang telah terbentuk. Ini dilaksanakan secara berurutan dan sangat sistematis berdasarkan Rukun Islam. Pada intinya, bagian ini merupakan langkah yang dimulai dari penetapan misi atau mission statement (1) dan dilanjutkan dengan pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif atau character building (2). Selanjutnya adalah, pelatihan pengendalian diri atau self controlling (3). Ketiga langkah ini akan menghasilkan apa yang disebut ketangguhan pribadi (Personal Strength). Proses internalisasi ke dalam.
Bagian Empat, diuraikan tentang pembentukan dan pelatihan untuk melakukan aliansi, atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya. Ini merupakan suatu perwujudan tanggung jawab sosial seseorang individu yang telah memiliki katangguhan pribadi di atas. Pelatihan yang diberikan, dinamakan Langkah Sinergi atau strategic collaboration (4) dan diakhiri Langkah Aplikasi Total atau total action (5). Pada tahap ini, diharapkan akan terbentuk apa yang dinamakan ketangguhan sosial (Social Strength). Di sinilah letak sublimasi semua prinsip dan langkah yang dilakukan. Inilah dinamakan proses internalisasi total (Ary Ginanjar, 200 1: Iv-lvi) Hadits Rasulullah SAW
Bukanlah sebaik-baik kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhiratnya,  dan tidak pada  orang-orang yang bekerja untuk akhiratnya saja  dan  meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja  untuk  (akhirat) dan untuk  (dunia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar